Kamis, 15 Juli 2010

Pelajaran Dari Piala Dunia

Banyak pelajaran dari pergelaran Piala Dunia 2010 kali ini, dan juga tentu piala dunia waktu-waktu lalu, baik dari sisi penyelenggaraan maupun dari sepakbolanya itu sendiri. Salah satunya adalah saat penyerahan medali dan trophy bergilir bagi juara. Jika kita perhatikan maka nampak dalam penyerahan medali itu wasit dan asisten wasit juga memperoleh medali penghargaan atas perannya memimpin jalannya pertandingan final. Dan yang menyerahkan medali untuk wasit adalah perwakilan dari negara yang berhadapan dalam final.
Mungkin penyerahan medali penghargaan bagi wasit oleh perwakilan negara yang bertanding itu hanya merupakan faktor teknis belaka sesuai dengan urutan hirarki peran dalam ranah pertandingan puncak itu. Tetapi ini juga bisa kita lihat sebagai penghargaan atas peran wasit yang diberikan oleh kedua tim yang bertanding atas pelaksanaan tugasnya memimpin pertandingan secara adil, fair dan tidak memihak sehingga masalah menang dan kalah adalah sebuah kata akhir yang mesti dapat diterima secara terhormat dan bermartabat.
Maka wasit dalam sepakbola atau wasit dalam pertandingan-pertandingan olah raga lain yang dalam dirinya sudah melekat sikap menjunjung tinggi fair play, memegang peran penting dalam menjaga kehormatan dan martabat olah raga itu sendiri. Tentu faktor pemain dan pelatih atau manajer tim juga tak kalah penting, tetapi wasit tetaplah merupakan faktor yang tidak tergantikan sebagai ‘penjaga gawang’ berlangsungnya sebuah pertandingan yang terhormat dan bermartabat.
Dalam liga-liga Eropa yang dapat kita ikuti di sini, atau juga di Piala Dunia kali ini, sering kita melihat bagaimana wasit terpaksa mengeluarkan kartu kuning ketika seorang pemain protes berlebihan kepada wasit, atau berlaku kasar terhadap wasit. Bahkan seorang pelatihpun bisa dijatuhkan sangsi ketika setelah pertandingan dia terlalu banyak mengritik kepemimpinan wasit. Atau juga dari sisi wasit, bahkan ketika ada kecurigaan terhadap wasit yang selama waktu jeda berbincang dengan pelatih lawan inipun sudah bisa menjadi isu yang mungkin akan mencuat.
Memang sangat kontras dengan yang terjadi di dunia sepak bola kita yang sering dalam tayangan sebuah pertandingan kita dapat melihat dengan mata telanjang bagaimana wasit dikejar-kejar oleh pemain, wasit didorong-dorong oleh pemain, wasit yang dipukul oleh seorang manajer tim seperti ketika Yoyok Sukawi manajer PSIS melontarkan bogem mentahnya ke wasit beberapa waktu lalu, yang syukur meleset dan dia sendiri malah tersungkur jatuh kehilangan keseimbangan.
”Bangsa Indonesia belum mampu menyelesaikan berbagai masalah yang masih menimbulkan luka di masyarakat. Bahkan, yang terjadi, bangsa ini malah berkompromi dengan masalah itu”, demikian Kompas 12 Juli 2010 melaporkan kegiatan diskusi film berjudul 3 hati, Dua Dunia, Satu Cinta, Sabtu 10 Juli 2010 di Jakarta. “Kebudayaan juga berkompromi,” kata rohaniawan Benny Susetyo seperti dilaporkan Kompas.
Atau kalau kita lihat contoh di atas, Yoyok Sukawi yang melontarkan bogem mentah kepada wasit dalam suatu pertandinganpun ternyata masih mampu menjadi seorang wakil rakyat di DPRD I Jawa Tengah melalui Partai Demokrat. Atau juga yang diperlihatkan oleh pengurus-pengurus PSSI ketika Nurdin Halid, Ketua Umumnya saat harus masuk penjara karena kasus korupsi. Atau juga ketika Partai Demokrat tetap menerima sebagai salah satu Pengurus Pusat dari seorang Andi Nurpati yang telah diberhentikan dari KPU (Komisi Pemilihan Umum), yang mana sebenarnya KPU adalah juga ’wasit’ dari gelar pemilihan umum yang juga sangat menghargai fair play. Dan yang bahkan Andi Nurpati itu diberhentikan karena melanggar asas, sumpah dan etik! Kalau dalam Piala Dunia kemarin, pihak-pihak yang bertanding mengalungkan medali penghargaan atas kerja keras wasit dalam menjaga pertandingan berlangsung fair sampai akhir pertandingan, justru sekarang ini Partai Demokrat mengalungkan medali perhargaan untuk seorang ’wasit demokrasi’ yang dipecat sebelum masa tugasnya berakhir karena melanggar asas, sumpah dan etik. Sungguh suatu yang absurd dan kemudian sulit untuk dijelaskan lagi.
Sekali lagi mengutip laporan Kompas di atas, ”Bangsa Indonesia belum mampu menyelesaikan berbagai masalah yang masih menimbulkan luka di masyarakat. Bahkan, yang terjadi, bangsa ini malah berkompromi dengan masalah itu.” Betulkah ini? *** (KNPK, 12/07/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar