Indonesia di tepi jurang?
“The triumph of any one Great Power in this period [“modern”: since 1500, post-Renaissance], or collapse of another, has usually been the consequence of length fighting by its armed forces; but it has also been the consequence of the more or less efficient utilization of state’s production economic resources in wartime, and, further in the background, of the way in which that state’s economy had been rising or falling, relative to the other leading nations, in the decades preceding the actual conflict”[1] Dari kutipan ini kita bisa mempelajari beberapa hal meski sekarang kita tidak sedang dalam situasi perang dengan negara lain, mengapa? Karena paling tidak apa yang sedang kita rasakan sekarang adalah jelas ada “perang” di dalam tubuh NKRI ini, yaitu “perang” antar senyawa oligarki-pemburu rente dalam upayanya menguasai Indonesia melalui pemilihan umum.
Demokrasi yang dicita-citakan reformasi 1998 yang kemudian direduksi menjadi pemilihan umum yang di-disain menjadi pemilihan umum yang mahal dan pemiluisme (elektoralisme) itu, nyata-nyata pada sebagian besarnya telah mengakibatkan penggerogotan kemampuan Indonesia untuk bertahan, kemampuan bangsa untuk berkembang. Pasca pemilihan umum adalah menjadi suatu masa di mana para terpilih (dalam pemiluisme sebut: elektokrat) menjadi begitu rakus tidak hanya untuk mengembalikan modal bagi biaya yang sudah dikeluarkan saat pemilihan umum, tetapi juga menumpuk modal bagi pemilihan umum yang kedua dalam mempertahankan kekuasaannya. Atau bagi yang sudah tidak mungkin lagi mengikuti pemilihan, tetap saja bernafsu menumpuk harta sebagai “teman” pensiun atau biaya bagi pencalonan teman atau bagian dari komplotannya yang nantinya bertugas melindungi dirinya jika terpilih.
China telah membuktikan bagaimana tesis dari Paul Kennedy itu dipakai sebagai peringatan dini. China jelas dalam beberapa decade sebelum ini praktis bisa dikatakan tidak mengeluarkan biaya perang untuk berperang dengan negara-negara lain, dan juga, lihat bagaimana seorang –katakanlah, walikota Shanghai ditetapkan? Mungkin hanya dengan biaya tidak lebih dari Rp 1000,- untuk membeli kertas dan tinta cap sebagai bahan membuat satu lembar Surat Keputusan. Hasilnya? Shanghai berubah menjadi kota maju dan makmur!
China juga berhasil bagaimana melakukan disain jalan ekonomi yang efisien. Bagaimana menggunakan semua sumber daya ekonominya secara efisien. Sudah biaya tidak habis untuk perang, baik perang dengan negara lain atau “perang” antar mereka sendiri ditambah lagi dengan mampu mengambil jalan yang efisien, dan hasilnya adalah seperti yang bisa kita lihat sekarang, China menjadi kekuatan dunia.
Jepang demikian juga. Berkah tidak langsung dari kekalahan dalam Perang Dunia II yang memaksa Jepang untuk tidak terlibat perang dengan negara bangsa lain dan keberhasilan membangun, baik politik dan ekonomi yang efisien, Jepang bangkit dari reruntuhan akibat Perang Dunia II.
Tentu bukannya membangun kekuatan militer sebagai upaya pertahanan kedaulatan itu tidak penting dan demokrasi kemudian harus dihindarkan. Kata kuncinya adalah efisiensi. Akhir-akhir ini nampak jelas bagi kita semua bagaimana efisiensi dalam menggunakan waktu hidup bersama ini sangat jauh dari harapan. Banyak waktu terbuang karena banyak masalah yang tidak cepat selesai, banyak hal yang semestinya dengan akal sehat dapat diselesaikan dengan cepat menjadi terlalu banyak menyita perhatian bangsa ini. Ini disebabkan, sekali lagi yang perlu dipikirkan pertama-tama adalah: ulah para elektokrat yang sedang berpikir mengembalikan modal dan menumpuk modal bagi pemilihan umum yang akan datang! Pengalihan isu kemudian menjadi metode yang tiba-tiba akrab dengan analisis para pengamat –dan sekarang saking seringnya, rakyat biasapun bisa merasakan hal itu. Waktu kemudian menjadi tempat strategi diletakkan, bukan dalam kerangka “waktu adalah uang”, tetapi dalam kerangka psikologi massa, rakyat toh akhirnya akan melupakan, akan bosan juga. Sungguh satu strategi yang jelas-jelas telah melecehkan bangsa, tapi toh mereka –para elektokrat itu, melakukan juga -secara berulang-ulang lagi!
Inilah mengapa judul tulisan ini dikatakan sebagai Indonesia di tepi jurang, jika tidak hati-hati -seperti yang dikatakan oleh Kennedy, akan kolaps. Berita-berita hari-hari terakhir terkait dengan ACFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–China) mengindikasikan hal ini, para elektokrat sibuk mempersiapkan perang dan ekonomi berjalan semakin tidak efisien. Hasilnya? Indonesia di tepi jurang…..
Gambaran di atas bukannya dimaksudkan untuk menjadi pesimis terhadap situasi dan kemudian mengambil langkah-langkah mencari selamatnya sendiri. Setiap manusia di lubuk hati terdalamnya tentu punya rasa penolakan ketika orang lain menderita. Jika kita melihat seorang anak bermain-main di jalan dan tanpa sadar tidak mengetahui datangnya sebuah kendaraan yang melaju kencang, otomatis tanpa berpikir panjang maka kita sebagai manusia akan menyelamatkannya. Inilah mengapa kita harus tetap optimis, karena kita percaya masih banyak rakyat Indonesia yang tetap peduli dengan nasib negara dan bangsanya dan tidak rela jika Indonesia yang sudah di tepi jurang ini justru masuk ke dalam jurang. Bahkan ketika kaum elektokrat-pun tahu kekuatan ini, yang kemudian membuat mereka melakukan taktik kuno: devide et impera!