Kamis, 21 April 2011

Indonesia di tepi jurang?

“The triumph of any one Great Power in this period [“modern”: since 1500, post-Renaissance], or collapse of another, has usually been the consequence of length fighting by its armed forces; but it has also been the consequence of the more or less efficient utilization of state’s production economic resources in wartime, and, further in the background, of the way in which that state’s economy had been rising or falling, relative to the other leading nations, in the decades preceding the actual conflict”[1] Dari kutipan ini kita bisa mempelajari beberapa hal meski sekarang kita tidak sedang dalam situasi perang dengan negara lain, mengapa? Karena paling tidak apa yang sedang kita rasakan sekarang adalah jelas ada “perang” di dalam tubuh NKRI ini, yaitu “perang” antar senyawa oligarki-pemburu rente dalam upayanya menguasai Indonesia melalui pemilihan umum.
Demokrasi yang dicita-citakan reformasi 1998 yang kemudian direduksi menjadi pemilihan umum yang di-disain menjadi pemilihan umum yang mahal dan pemiluisme (elektoralisme) itu, nyata-nyata pada sebagian besarnya telah mengakibatkan penggerogotan kemampuan Indonesia untuk bertahan, kemampuan bangsa untuk berkembang. Pasca pemilihan umum adalah menjadi suatu masa di mana para terpilih (dalam pemiluisme sebut: elektokrat) menjadi begitu rakus tidak hanya untuk mengembalikan modal bagi biaya yang sudah dikeluarkan saat pemilihan umum, tetapi juga menumpuk modal bagi pemilihan umum yang kedua dalam mempertahankan kekuasaannya. Atau bagi yang sudah tidak mungkin lagi mengikuti pemilihan, tetap saja bernafsu menumpuk harta sebagai “teman” pensiun atau biaya bagi pencalonan teman atau bagian dari komplotannya yang nantinya bertugas melindungi dirinya jika terpilih.
China telah membuktikan bagaimana tesis dari Paul Kennedy itu dipakai sebagai peringatan dini. China jelas dalam beberapa decade sebelum ini praktis bisa dikatakan tidak mengeluarkan biaya perang untuk berperang dengan negara-negara lain, dan juga, lihat bagaimana seorang –katakanlah, walikota Shanghai ditetapkan? Mungkin hanya dengan biaya tidak lebih dari Rp 1000,- untuk membeli kertas dan tinta cap sebagai bahan membuat satu lembar Surat Keputusan. Hasilnya? Shanghai berubah menjadi kota maju dan makmur!
China juga berhasil bagaimana melakukan disain jalan ekonomi yang efisien. Bagaimana menggunakan semua sumber daya ekonominya secara efisien. Sudah biaya tidak habis untuk perang, baik perang dengan negara lain atau “perang” antar mereka sendiri ditambah lagi dengan mampu mengambil jalan yang efisien, dan hasilnya adalah seperti yang bisa kita lihat sekarang, China menjadi kekuatan dunia.
Jepang demikian juga. Berkah tidak langsung dari kekalahan dalam Perang Dunia II yang memaksa Jepang untuk tidak terlibat perang dengan negara bangsa lain dan keberhasilan membangun, baik politik dan ekonomi yang efisien, Jepang bangkit dari reruntuhan akibat Perang Dunia II.
Tentu bukannya membangun kekuatan militer sebagai upaya pertahanan kedaulatan itu tidak penting dan demokrasi kemudian harus dihindarkan. Kata kuncinya adalah efisiensi. Akhir-akhir ini nampak jelas bagi kita semua bagaimana efisiensi dalam menggunakan waktu hidup bersama ini sangat jauh dari harapan. Banyak waktu terbuang karena banyak masalah yang tidak cepat selesai, banyak hal yang semestinya dengan akal sehat dapat diselesaikan dengan cepat menjadi terlalu banyak menyita perhatian bangsa ini. Ini disebabkan, sekali lagi yang perlu dipikirkan pertama-tama adalah: ulah para elektokrat yang sedang berpikir mengembalikan modal dan menumpuk modal bagi pemilihan umum yang akan datang! Pengalihan isu kemudian menjadi metode yang tiba-tiba akrab dengan analisis para pengamat –dan sekarang saking seringnya, rakyat biasapun bisa merasakan hal itu. Waktu kemudian menjadi tempat strategi diletakkan, bukan dalam kerangka “waktu adalah uang”, tetapi dalam kerangka psikologi massa, rakyat toh akhirnya akan melupakan, akan bosan juga. Sungguh satu strategi yang jelas-jelas telah melecehkan bangsa, tapi toh mereka –para elektokrat itu, melakukan juga -secara berulang-ulang lagi!
Inilah mengapa judul tulisan ini dikatakan sebagai Indonesia di tepi jurang, jika tidak hati-hati -seperti yang dikatakan oleh Kennedy, akan kolaps. Berita-berita hari-hari terakhir terkait dengan ACFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–China) mengindikasikan hal ini, para elektokrat sibuk mempersiapkan perang dan ekonomi berjalan semakin tidak efisien. Hasilnya? Indonesia di tepi jurang…..
Gambaran di atas bukannya dimaksudkan untuk menjadi pesimis terhadap situasi dan kemudian mengambil langkah-langkah mencari selamatnya sendiri. Setiap manusia di lubuk hati terdalamnya tentu punya rasa penolakan ketika orang lain menderita. Jika kita melihat seorang anak bermain-main di jalan dan tanpa sadar tidak mengetahui datangnya sebuah kendaraan yang melaju kencang, otomatis tanpa berpikir panjang maka kita sebagai manusia akan menyelamatkannya. Inilah mengapa kita harus tetap optimis, karena kita percaya masih banyak rakyat Indonesia yang tetap peduli dengan nasib negara dan bangsanya dan tidak rela jika Indonesia yang sudah di tepi jurang ini justru masuk ke dalam jurang. Bahkan ketika kaum elektokrat-pun tahu kekuatan ini, yang kemudian membuat mereka melakukan taktik kuno: devide et impera!

SENYAWA OLIGARKI-PEMBURU RENTE

Tepatnya: Senyawa Oligarki-Pemburu Rente (#1 Public Enemies)

Jeffrey Winters: Indonesia is a Democracy State Without Law
Political observer from the University of Northwestern United States, Prof. Jeffrey Winters, assesses that Indonesia is a democratic state without law. The statement is based on his observation that after the fall of the Suharto regime, the democratic system in Indonesia has turned to the system of oligarchy. Consequently, laws which are expected to restrict and guard the government do not function at all.
“The effect of democracy without law is the criminal democracy. The law here actually submits to the authorities,” said Jeffrey in Public Discussion of Oligarchy and Corruption: Perspectives of Political-Economy and Law at the UGM Faculty of Law, Friday (15/4).
Jeffrey added, although so far Indonesia has been known as a democratic country, even in some ways are more democratic than the U.S., ironically it also earned the title of one of the most corrupt countries. Proofs of democracy in Indonesia for instance are the direct presidential election system and the numerous political parties which are more in number than the U.S. political parties.
In his opinion, oligarchy is based more on money and wealth owned by a number of elite. While the elite are more widely supported due to their status, official position, the capacity of mobilization, and violence. There are some benign oligarchies, but some are wild. The impact of the oligarchy, in addition to laws that are subject to the ruler, is a figure that is more important than institutions.
“Despite their small number, oligarch controls laws and institutions. Oligarchy is based on money and wealth,” said Jeffrey.
With the oligarchy, he admitted there are still many Indonesian people who want to return to the Suharto’s New Order. At that time they thought the country’s stability and prosperity were more settled.
“Suharto was indeed a dictator, but some people miss the atmosphere back in the New Order which they say was more comfortable and stable,” said Jeffery who had once lived in Yogyakarta.
He also pointed out the reign of oligarchs system by the billions dollars of assets owned by Indonesians, even those living outside the country. In fact, some have a fortune reaching 25% of Indonesia’s GDP. “The concentration of Indonesia’s finance might be many times  more compared to that of Thailand, Malaysia, and even Singapore,” said Jeffrey.
Submitted by marwati on Tue, 04/19/2011 - 02:47.
http://www.ugm.ac.id/en/?q=news/jeffrey-winters-indonesia-a-democracy-state-without-law

Selasa, 19 April 2011

NI YAU CAIFU NI XIAN ZUO LU

Ni yao caifu ni xian zuo lu: bila ingin makmur bikin jalan dulu, demikian pepatah kuno China berbunyi. China sampai detik ini masih dengan “kecepatan penuh” membangun 25 kilometer jalan baru per hari, sedangkan di Indonesia tidak sampai ada sepersepuluhnya.[i] Apa makna strategis dibalik pepatah itu?
Yang bisa kita pelajari dari pepatah kuno China di atas adalah: keterhubungan! Cobalah kita bayangkan cerita yang sudah akrab dengan kita, yaitu tentang seikat lidi dan ketika mereka diceraikan dari ikatannya. Lidi-lidi itu jika terlepas satu dengan yang lain akan mudah dipatahkan, tetapi jika diikat menjadi satu maka akan sulit dipatahkan, bahkan oleh orang terkuat sekalipun. Yang mengikat sekelompok manusia, katakanlah kita sebagai bangsa Indonesia bisa memang dengan hadirnya sebuah ideologi, atau memori sejarah yang sama, atau yang lainnya yang dapat dimaknai dalam term marxian sebagai bagian dari ‘suprastruktur’ –bangunan atas. Tetapi hidup dari hari ke hari, kongkret hidup bersama tidak hanya membutuhkan hal-hal ‘suprastruktur’ tersebut, tetapi juga bentuk-bentuk ‘infrastruktur’, basis material yang mendukung dan terlibat dalam hidup keseharian. Bahkan menurut Marx, suprastruktur , bangunan atas, itu lebih banyak ditentukan oleh basis material daripada sebaliknya.
Maka jalan, baik jalan raya, kereta api, laut maupun udara adalah masalah keterhubungan, masalah bagaimana membangun sebuah ikatan. Tetapi bukankah keterhubungan itu dapat dibangun dengan biaya yang sangat murah, dengan jaringan internet, misalnya? Dengan satelit Palapa yang memfasilitasi siaran televisi sampai pelosok-pelosok desa? Sekali lagi, ini memang perlu dan sebaiknya juga dikembangkan, tetapi yang harus diingat ialah hubungan antar manusia yang paling genuine, yang paling mampu membangun ikatan yang kuat adalah pertemuan langsung antar manusia itu sendiri, face-to-face.
Selain itu, ekonomi riil jelas membutuhkan sarana perhubungan yang kongkret, baik itu jalan, pelabuhan sampai pada tersedianya energi.
Jika kita melihat sejarah perkembangan manusia, mulai dengan ditemukan roda, kapal laut, kereta api, mobil dan pesawat terbang, kesejahteraan manusia kebanyakan juga seiring dengan bagaimana satu kelompok manusia itu dapat memaksimalkan keuntungan dari fasilitas keterhubungan itu bagi sebanyak-banyaknya anggota. Lihat saja bagaimana perkembangan jaringan rel kereta api di Eropa, Amerika Serikat di abad 19. Juga yang dikembangkan di Jepang, dan sekarang di China. Pada titik inilah timbul suatu pilihan-pilihan ‘ideologis’. Misalnya, akan lebih memfasilitasi keterhubungan kelompok yang sudah mapan dan bermobil pribadi dengan memprioritaskan membangun jalan tol atau memfasilitasi rakyat kebanyakan dengan lebih mengembangkan angkutan massal yang nyaman dan murah?
Pilihan-pilihan bisa menjadi tidak mudah bagi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, sebab jika ia lebih mementingkan keterhubungan rakyat kecil, bagaimana jika rakyat kemudian menjadi kuat karena bangunan ikatan bersamanya perlahan semakin kuat seiring dengan semakin mudah dan seringnya bertemu?
Maka ni yao caifu ni xian zuo lu: bila ingin makmur bikin jalan dulu, dibalik ini mestinya adalah kemakmuran bagi rakyat kebanyakan, terutama rakyat kecil. Keterhubungan jangan dimaknai dengan paradigma trickle down effect, jika yang atas difasilitasi keterhubungannya dan kemudian menjadi semakin kuat maka kelimpahan akan menetes ke bawah. Sejarah membuktikan bahwa ini hanyalah sebuah ilusi belaka. Buatlah rakyat kebanyakan, sebanyak-banyaknya menikmati keterhubungan yang murah dan nyaman, maka rakyat akan menjadi kuat, dan pergerakan ekonomi yang diletakkan di atas basis ini tentu lebih bisa diharapkan untuk dapat dinikmati oleh banyak orang, tidak hanya mengumpul pada segelintir orang saja. Inilah hal strategis dibalik pepatah kuno China itu yang dapat kita pelajari bersama. Maka menjadi ironi, ketika rakyat kebanyakan mempunyai kesempatan bertemu face-to-face saat liburan, justru tiket kereta api dinaikkan!

Salah Satu yang di Sinyalir Pak Ryamizard

Donor Asing Janggal
Jakarta, Kompas - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat Indonesia mempertanyakan keberadaan lembaga donor asing di berbagai instansi Indonesia yang dinilai janggal. Selain manfaatnya dinilai tidak signifikan untuk demokratisasi di Indonesia, fasilitas yang diberikan pemerintah terasa berlebihan.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, dan Lucius Karus dari Lembaga Studi Pers dan Pembangunan di Jakarta, Senin (18/4).
Menurut Jeirry, dana-dana asing yang diberikan tidak signifikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal itu karena pengelolaan anggaran tak efisien dan efektif. Peruntukannya tak tepat sasaran dan banyak tumpang tindih dengan program pemerintah yang dibiayai APBN.
Jeirry mencontohkan, menjelang Pemilu 2009 ada program peningkatan kapasitas anggota KPU, KPU daerah, dan staf sekretariat dilakukan dengan dukungan lembaga donor asing dan sosialisasi. Kegiatan serupa dilakukan sama dan berulang-ulang karena ada dana dari APBN ataupun dari lembaga donor asing. Akibatnya, menurut Jeirry, bisa terdapat dua laporan untuk satu kegiatan, ke lembaga donor dan ke lembaga negara.
Di DPR, ujar Sebastian, keberadaan kantor lembaga donor asing United Nations Development Programme (UNDP) juga terasa janggal, apalagi sudah berlangsung bertahun-tahun. Bantuan lembaga donor asing juga terjadi pada penataan sistem kependudukan di Kementerian Dalam Negeri.
Dukungan yang diberikan harus diperjelas, bersifat hibah atau utang. Apabila bantuan berupa utang, jelas akan membebani rakyat Indonesia. Kalaupun sifatnya hibah, besar kemungkinan adanya duplikasi anggaran.
Keberadaan kantor lembaga donor asing UNDP di kompleks DPR selama bertahun-tahun, lanjut Sebastian, juga terasa janggal. Perlakuan istimewa ini seakan menunjukkan pemerintah berutang budi kepada pihak donor dan menimbulkan dugaan adanya intervensi asing. Semestinya, kata Ray, ada pola kemitraan yang nyata antara lembaga donor dan masyarakat Indonesia.
Dihubungi terpisah, anggota KPU, Endang Sulastri, membantah ada tumpang tindih anggaran. Itu karena penerimaan lembaga asing dilakukan mengikuti aturan dengan berkoordinasi dengan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). ”Apabila Bappenas sudah mengonfirmasi tidak ada alokasi di APBN, baru bantuan dari lembaga asing diterima. Kami juga tak menerima uang tunai, tetapi manfaatnya saja,” kata Endang.
Project Officer untuk Election Project UNDP Indonesia Partono menambahkan, pihaknya bisa memastikan program tidak tumpang tindih sebab sebelumnya ada pertemuan antara UNDP, Bappenas, dan lembaga yang dibantu. Kebutuhan yang belum dibiayai APBN bisa dikerjakan UNDP. Kerja UNDP diaudit secara internal oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (INA)