Rabu, 17 November 2010

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=167132703296992&set=a.155875484422714.34000.100000007903110

Pat Gu Lipat

Bukan Pat-gulipat, Mestinya: Kelola Di Tempat Terang!

Rencana penjualan Krakatau Steel yang menuai kritik pedas dari banyak pihak seakan memberikan rasa de javu terhadap penjualan Indosat yang merugikan negara triliunan rupiah. Hak prerogratif Presiden terhadap laku ugal-ugalan ini seakan mlempem tak bersuara. Sungguh rejim sekarang ini terlalu banyak mengelola negara -yang ditegakkan oleh darah dan nyawa pejuang kemerdekaan, justru banyak dilakukan di tempat gelap. Tepatnya adalah, rejim sekarang ini adalah rejim pat-gulipat dengan topeng hukum yang kokoh nan melekat erat terpasang di wajah buramnya. Semakin hari rakyat semakin paham bahwa hukum dipahami dan dilaksanakan oleh rejim ini dalam kerangka laku sok, sok setia kepada hukum, sok sesuai prosedur. (jangan-jangan juga sok teraniaya, sok berurai-air mata!)
Rejim yang seperti ini jelas tidak kompetibel dengan situasi obyektif yang berkembang sesuai dengan perkembangan hidup bersama manusia dalam segala aspeknya. Setiap hidup bersama, sebagai satu bangsa misalnya, selalu mempunyai potensi untuk maju dan berkembang, atau berhenti berkembang dan bahkan akan nampak mundur karena selalu tertinggal tatkala bangsa lain sudah lari kencang di depan. Tidak kompetibelnya rejim ini dengan situasi obyektif yang ada akan membuat potensi keterbelakangan dibandingkan dengan negara-bangsa lain dapat menjadi aktus yang nyata.
Dari perkembangan hidup bersama era manuskrip yang kemudian bergeser pada pengenalan masyarakat akan kekuatan mesin cetak, kemudian telepon, radio dan televisi serta yang sekarang merebak adalah jaringan internet maka tata kelola di tempat gelap jelas bukanlah sebuah tata kelola yang kompetibel, bukan tata kelola yang klop dengan perkembangan situasi ini. Tetap mengelola negara di tempat gelap jelas telah mempertaruhkan masa depan bangsa beserta keseluruhan isinya, terutama yang dipertaruhkan adalah anak-cucu penerus bangsa ini.
Salah sekali menempatkan tata kelola di tempat terang pertama-tama di atas bangun hukum dan prosedur. Tata kelola di tempat terang itu pertama-tama adalah masalah kemauan politik, keputusan politik dan kemudian tindakan politik. Hukum-prosedur tetap merupakan instrumen penting dalam hal ini, tetapi jika hukum-prosedur adalah tubuh maka kemauan politik itu adalah jiwanya. Rejim sekarang ini bahkan hanya menempatkan hukum sebagai topeng yang dilekatkan pada tubuh, apalagi jika kita bicara jiwa yang mana justru hasrat utamanya adalah pada pat-gulipat itu!
Karena politik selalu berurusan dengan rakyat kebanyakan maka menyerahkan masalah politik hanya pada segelintir elit saja akan mengandung resiko yang terlalu besar. Rakyat harus mampu mengontrol kekuatan politik yang ada di tangan elit politik meski yang ada di depan rakyat itu adalah seorang manusia yang sungguh kampiun dalam melaksanakan amanat rakyat. Tetapi di satu pihak, dari hari ke hari faktanya rakyat selalu disibukkan dengan urusan survival, urusan bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya (dan ini adalah sangat sah-sah saja), lalu kemudian bagaimana kontrol politik ini dapat dilaksanakan? Ada LSM, ada koran-majalah, ada televisi dan ada internet, bukankah ini dapat menjadi alat kontrol bagi rakyat? Tentu ini adalah alat penting bagaimana kekuasaan politik dapat dikontrol, tetapi tetap saja karena yang dikontrol itu adalah kekuasaan politik maka yang utama sebagai alat kontrol mestinya juga adalah sebuah kekuatan politik, sebuah kekuatan di mana kolektifitas rakyat dapat benar-benar mewujud sebagai kekuatan politik. Dan itu adalah partai politik. Sayangnya justru partai politik yang ada sekarang ini sepertinya tidak mampu melawan laku pat-gulipat rejim ini, atau jangan-jangan banyak elit partai justru merupakan bagian dari rejim pat-gulipat ini?
Partai yang kuat jelas diperlukan untuk menghentikan rejim pat-gulipat ini, tetapi bagaimanakah sebuah partai politik dapat disebut sebagai partai yang kuat? Yang pengurus partainya banyak uang? Yang pengurus partainya bergelar doktor, profesor? Yang mempunyai tim ahli di bidang pencitraan? Ada dua hal partai dapat disebut sebagai partai yang kuat. Yang pertama adalah hidup partai itu betul-betul denyutnya dirasakan oleh anggota partai khususnya dan rakyat pada umumnya -dari hari ke hari, bukan hanya saat menjelang pemilihan umum saja. Terhadap setiap peristiwa politik yang terjadi dari hari ke hari, semestinyalah partai merupakan satu hal pertama yang kemudian ”nyanthol”, ada di benak rakyat. Atau dalam istilah Henry Berson, dari aspek ’waktu’, hidupnya sebuah partai politik yang kuat adalah dalam perspektif durée, bukan temps. Hal kedua adalah terkait dengan monopoli sah dari negara dalam hal penggunaan kekerasan. Bisakah partai dapat mengendalikan itu secara efektif?

Kamis, 15 Juli 2010

Pelajaran Dari Piala Dunia

Banyak pelajaran dari pergelaran Piala Dunia 2010 kali ini, dan juga tentu piala dunia waktu-waktu lalu, baik dari sisi penyelenggaraan maupun dari sepakbolanya itu sendiri. Salah satunya adalah saat penyerahan medali dan trophy bergilir bagi juara. Jika kita perhatikan maka nampak dalam penyerahan medali itu wasit dan asisten wasit juga memperoleh medali penghargaan atas perannya memimpin jalannya pertandingan final. Dan yang menyerahkan medali untuk wasit adalah perwakilan dari negara yang berhadapan dalam final.
Mungkin penyerahan medali penghargaan bagi wasit oleh perwakilan negara yang bertanding itu hanya merupakan faktor teknis belaka sesuai dengan urutan hirarki peran dalam ranah pertandingan puncak itu. Tetapi ini juga bisa kita lihat sebagai penghargaan atas peran wasit yang diberikan oleh kedua tim yang bertanding atas pelaksanaan tugasnya memimpin pertandingan secara adil, fair dan tidak memihak sehingga masalah menang dan kalah adalah sebuah kata akhir yang mesti dapat diterima secara terhormat dan bermartabat.
Maka wasit dalam sepakbola atau wasit dalam pertandingan-pertandingan olah raga lain yang dalam dirinya sudah melekat sikap menjunjung tinggi fair play, memegang peran penting dalam menjaga kehormatan dan martabat olah raga itu sendiri. Tentu faktor pemain dan pelatih atau manajer tim juga tak kalah penting, tetapi wasit tetaplah merupakan faktor yang tidak tergantikan sebagai ‘penjaga gawang’ berlangsungnya sebuah pertandingan yang terhormat dan bermartabat.
Dalam liga-liga Eropa yang dapat kita ikuti di sini, atau juga di Piala Dunia kali ini, sering kita melihat bagaimana wasit terpaksa mengeluarkan kartu kuning ketika seorang pemain protes berlebihan kepada wasit, atau berlaku kasar terhadap wasit. Bahkan seorang pelatihpun bisa dijatuhkan sangsi ketika setelah pertandingan dia terlalu banyak mengritik kepemimpinan wasit. Atau juga dari sisi wasit, bahkan ketika ada kecurigaan terhadap wasit yang selama waktu jeda berbincang dengan pelatih lawan inipun sudah bisa menjadi isu yang mungkin akan mencuat.
Memang sangat kontras dengan yang terjadi di dunia sepak bola kita yang sering dalam tayangan sebuah pertandingan kita dapat melihat dengan mata telanjang bagaimana wasit dikejar-kejar oleh pemain, wasit didorong-dorong oleh pemain, wasit yang dipukul oleh seorang manajer tim seperti ketika Yoyok Sukawi manajer PSIS melontarkan bogem mentahnya ke wasit beberapa waktu lalu, yang syukur meleset dan dia sendiri malah tersungkur jatuh kehilangan keseimbangan.
”Bangsa Indonesia belum mampu menyelesaikan berbagai masalah yang masih menimbulkan luka di masyarakat. Bahkan, yang terjadi, bangsa ini malah berkompromi dengan masalah itu”, demikian Kompas 12 Juli 2010 melaporkan kegiatan diskusi film berjudul 3 hati, Dua Dunia, Satu Cinta, Sabtu 10 Juli 2010 di Jakarta. “Kebudayaan juga berkompromi,” kata rohaniawan Benny Susetyo seperti dilaporkan Kompas.
Atau kalau kita lihat contoh di atas, Yoyok Sukawi yang melontarkan bogem mentah kepada wasit dalam suatu pertandinganpun ternyata masih mampu menjadi seorang wakil rakyat di DPRD I Jawa Tengah melalui Partai Demokrat. Atau juga yang diperlihatkan oleh pengurus-pengurus PSSI ketika Nurdin Halid, Ketua Umumnya saat harus masuk penjara karena kasus korupsi. Atau juga ketika Partai Demokrat tetap menerima sebagai salah satu Pengurus Pusat dari seorang Andi Nurpati yang telah diberhentikan dari KPU (Komisi Pemilihan Umum), yang mana sebenarnya KPU adalah juga ’wasit’ dari gelar pemilihan umum yang juga sangat menghargai fair play. Dan yang bahkan Andi Nurpati itu diberhentikan karena melanggar asas, sumpah dan etik! Kalau dalam Piala Dunia kemarin, pihak-pihak yang bertanding mengalungkan medali penghargaan atas kerja keras wasit dalam menjaga pertandingan berlangsung fair sampai akhir pertandingan, justru sekarang ini Partai Demokrat mengalungkan medali perhargaan untuk seorang ’wasit demokrasi’ yang dipecat sebelum masa tugasnya berakhir karena melanggar asas, sumpah dan etik. Sungguh suatu yang absurd dan kemudian sulit untuk dijelaskan lagi.
Sekali lagi mengutip laporan Kompas di atas, ”Bangsa Indonesia belum mampu menyelesaikan berbagai masalah yang masih menimbulkan luka di masyarakat. Bahkan, yang terjadi, bangsa ini malah berkompromi dengan masalah itu.” Betulkah ini? *** (KNPK, 12/07/2010)

Selasa, 13 Juli 2010

Budaya dan Alam Tanoh Gayo


Lihatlah betapa hebat dan Kayanya Kerajaan Gayo dengan budaya serta AlamNya.............
Janganlah ini dijadikan komoditi oleh tangan2 para perusak yang menghisap darah rakyat..............
Bangunlah dan Bersatulah Orang gayo...............
Janganlah engkau mau di adu domba lagi...............

Pembantaian yang di Lakukan oleh Belanda



Inilah gambar-gambar yang  terjadi pada waktu penjajahan belanda datang ke kerajaan Gayo (Linge).
Mereka Para kolonial meng adu domba para raja yang ada di negeri ( kerajaan tersebut)
Hancurnya Bangsa Indonesia ini di karenakan maunya kita di adu domba dikarenakan Harta-Tahta-Wanita.
Itulah yang membuat manusia hancur dan nista...

Minggu, 21 Februari 2010

Kondisi Objektif kabupaten Bener Meriah 2010





Kondisi Objektif Daerah
Kabupaten Bener Meriah

A. UMUM
Secara umum krisis, ada beberapa krisis yang terjadi di Kabupaten Bener Meriah ditandai dengan berkembangannya gejala berikut ini :

1. Lunturnya Komitmen Kebangsaan. Jiwa dan semangat luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 semakin berkurang dan hanya menjadi symbol belaka yang kehilangan makna dalam interiaksi politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Hilangnya Kewibawaan Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah yang berkuasa saat ini tidak menunjukan adanya visi dan wawasan, kualitas kepemimpinan, keberanian bertindak, kejujuran dan kepercayaan diri, serta kemandirian dan komitmen dalam melaksanakan kesepakatan bersama dalam proses politik yang demokratis. Pemerintahan telah gagal menjadi panutan dalam rangka membentuk sikap dan prilaku masyarakat Bener Meriah yang beradab.

3. Hancurnya Modal Sosial. Kekayaan yang diperoleh dari kemajemukan bangsa yang terpelihara sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia telah mengalami pengikisan dan kerusakan oleh perilaku kekerasan, korupsi dan mementingkan diri sendiri sebagai akibat dari berkembangnya nilai-nilai materealisme, hedorisme, primodealisme dan individualisme yang pada akhirnya mengakibatkan melemahnya ikatan persaudaraan kebangsaan Indonesia yang dapat mengancam eksistensi bangsa dan daerah. Oleh karena itu, Pemerintahan dan Masyarakat harus menyadari dan membangun kemajemukan daerah sebagai modal sosial yang sangat Fundamental dalam mewujudkan kesejahteraan lahir maupun batin bagi seluruh masyarakat Bener Meriah.

B. EKONOMI, KEUANGAN, DAN INDUSTRI

Dalam bidang ekonomi, keuangan dan industri pokok-pokok permasalahan yang dihadapi sebagai berikut :

1. Struktur Perekonomian Daerah yang mengabaikan Keadilan. Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan keadilan telah menjadi titik sentral kegagalan ataupun kurang efektifnya hasil pembangunan ekonomi selama ini. Pola pertumbahan ekonomi seperti ini terbukti hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat dengan mengorbankan kepentingan mayoritas rakyat sehinnga harus dihindari dan diperbaiki sesegera mungkin. Sebaliknya, strategi pemerataan ekonomi disadari tidak mungkin dilakukan tanpa melalui suatu pertumbuhan, karena akan menyebabkan terjadinya stagnasi pertumbuhan yang tidak mampu menyerap pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhannya, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup mayarakat Bener Meriah.

2. Lemahnya Posisi Rakyat dalam Perekonomian. Upaya menjawab kritik pertumbuhan ekonomi melalui program distribusi pendapatan, yang berorientasi kepada pola kedermawanan pemerintahan (benevolent government) justru memperburuk moral dan prilaku ekonomi. Program pemerataan ekonomi seharusnya dapat menumbuhkan budaya ekonomi produktif, menghilangkan budaya konsumtif, dan membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen atas program bantuan sosial.

3. Investasi Daerah Yang Belum Memadai. Investasi Pemerintahan (Public Investment) sebagai insentif untuk tumbuhnya investasi swasta seperti di sektor infrastrukutur ekonomi berupa jalan raya, petanian, tenaga listrik, transportasi umum, informasi dan telkomunikasi, dan fasilitas publik lainnya belum memadai. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi publik ini menjadi salah satu titik lemah dalam menarik investasi swasta. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain tidak adanya garis kepemimpinan yang kuat, lemahnya kordinasi kebijakan, tumpang tindihnya fungsi kelembagaanpemerintahan dipusat dan daerah, serta tidak transparannya mekanisme penyusunan anggaran dan pertanggungjawaban publik ( public accountability )
4. Meningkatnya Pengangguran dan Kemiskinan. Gerak pembangunan yang tidak mampu mengangkat penduduk miskin amat berbahaya bukan saja dari aspek ekonomi tetapi juga dari segi sosial, politik, dan keamanan. Semakin besar jumlah pengangguran terbuka maupun setengah terbuka terbuka yang kini semakin merugikan produktivitas ekonomi daerah. Kegagalan ini tidak terlepas dari kegagalan kebijakan ekonomi makro dan mikro serta panangan krisis ketenagakerjaan yang kurang berpihak pada kebijakan ekonomi berbasis tenaga kerja.

5. Terbatasnya Lapangan Kerja dan Kesempatan Berusaha. Penciptaan lapangan baru dan perluasan kesempatan berusaha untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan perekonomian dan laju pembangunan, belum dapat direalisasikan. Kegagalan program penciptaan tenaga kerja selama ini sangat di pengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang lebih menekankan penggunaan modal melalui pemberian pinjaman ke sector formal dan hanya kepada segelincir konglomerat sehingga tak berorentasi kepada penggunaan tenaga kerja produktif.

6. Kegagalan Pemberdayaan Badan Usaha Milik Daerah. Di tingkat mikro perusahaan, Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD ) seharusnya hanya melaksanakan kegiatan yang berorentasi pada public investment sehingga tidak mengambil alih peran ekonomi masyarakat, dan diarahkan untuk meringangkan beban dunia usaha (cost-burden externalitiy ). Kegagalan pemberdayaan BUMD sebagai pelaku pembangunan (agent of development) maupun penggerak roda pembangunan (engine of growth) bukan saja mengurangi tingkat kepercayaan publik, tetapi juga menambah beban ekonomi masyarakat karena umumnya struktur modal BUMD diperoleh dari pendapatan pajak atau pinjaman kepada orang luar yang juga dibayar melalui pajak.

7. Lemahnya Struktur Perdagangan dan Ekspor. Di bidang perdagangan internasional maupun domestic, perkembangan ekspor BENER MERIAH ternyata masih mengecewakan, apalagi dengan munculnya pesaing baru dari Cina dan India untuk produk non-migas. Bener Meriah harus dapat mendorong perkembangan industri, perdagangan dan ekspor dengan memanfaatkan keunggulan kompratif menjadi keunggulan keunggulan kompetitif dalam industri padat karya dan industri yang memanfaatkan sumber daya alam dan manusianya.

8. Kesenjangan Ekonomi dan Sosial. Semua perkembangan pada tingkat ekonomi makro belum cukup memadai. Perbaikan ekonomi pada tataran makro ternyata juga hanya dinikmati oleh masyarakat lapisan atas saja, sementara sebagian besar masyarakat Bener Meriah tidak merasakan proses pemulihan itu. Mereka yang berada dilapis bawah masih tetap dibiarkan berkutat dalam memenuhi kebutuhan mendasar mereka, memenuhi kebutuhan pokok (basic needs) berupa sandang, pangan, perumhan, pendidikan dan kesehatan. Bahkan kesejahteraan rakyat lapis bawah ini justru makin terpuruk seperti ditunjukan oleh berbagai indikator kesenjangan, dan apabila fenomena seperti ini dibiarkan berlarut oleh Pemerintahan Bener Meriah maka akan menjadi sumber maraknya gejolak dan ketegangan sosial yang bisa bermuara pada revolusi sosial.


C. KESEJAHTERAAN MASYARAKAT BENER MERIAH

Dalam bidang kesejahteraan masyarakat pokok-pokok permasalahan yang dihadapi :

1. Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah. Hal itu ditunjuki oleh gambaran yang menunjukan 65 % kuwalitas tenaga kerja di Bener Meriah adalah lulusan SLTA ke Bawah. Dengan kualitas seperti itu tenaga kerja sangat rentan untuk jatuh ke kondisi kemiskinan dan hampir tidak mungkin memenuhi tuntutan kualitas pasar tenaga kerja yang makin kompotitif maupun perubahan kebutuhan produksi. Kondisi ini diperburuk apabila melihat SDM perempuan.

2. Meningkatnya Ketegangan Sosial. Tingginya ketegangan sosial mengakibatkan terjadinya komplik. Hubungan sosial yang tidak harmonis ditandai dengan pertentangan antar individu maupun kelompok yang cendrung berakhir dengan kekerasan bahkan cendrung anarkis. Mekanisme pemecahan konflik sosial yangdahulu dikenal dengan prinsip musyawarah terlihat makin memudar setelah era reformasi. Kerusuhan antar kelompok, antar kampung, antar kesatuan, antar pelajar, antar mahasiswa, antar penduduk yang bersifat SARA. Seolah menjadi kondisi sosial yang dianggap wajar. Bahkan konflik yang bersekala besar dan lama justru muncul karena hal-hal yang sepele, yang sekaligus mencerminkan makin berkurangnya modal sosial yang dimiliki bangsa ini. Rasa kepemilikan sebagai bagian dari bangsa yang besar ini seolah sirna dengan semakin berkembangannya pengelompokan sosial secara eksesif berdasarkan SARA atau kedaerahan.


3. Belum Optimalnya Peran Perempuan dan Generasi Muda. Peningkatan peran perempuan dalam seluruh aspek pembanguanan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan termasuk penyiapan peraturan namun masih memerlukan langkah-langkah sistematis untuk pelaksanaan. Peningkatan peran dan pembinaan generasi muda kurang mendapati perhatian dalam kurung waktu beberapa tahun terakhir. Kelembagaan untuk pembinaan generasi muda kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Bener Meriah.

4. Menurunnya Prestasi Olah Raga dan Berkurangnya Apresiasi terhadap Seni dan Budaya. Prestasi olah raga daerah terasa sangat menurun bahkan untuk tingkat Nasional sekalipun prestasi olah raga Bener Meriah sudah tidak dapat mempertahankan keunggulannya. Hal itu antara lain disebabkan oleh semakin menurunnya komitmen pemerintah daerah dalam pembinaan
olah raga. Apresiasi terhadap seni dan budaya juga mengalami penurunan dan berdampak pada turunnya penghargaan seni dan budaya daerah.



D. PERTAHANAN DAN KEAMANAN, SERTA POLTIK DAN HUKUM

Dalam bidang pertahanan dan keamanan, serta politik dan hukum pokok-pokok permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut :

1. Besarnya Pengaruh Globalisasi. Globalisasi di bidang perdagangan, telekomunikasi, demokrasi dan lingkungan hidup telah melahirkan perubahan besar atas tata kehidupan masyarakat. Kedaulatan mengalami pergeseran oleh adanya perubahan tata dunia pasca perang dingin. Nilai-nilai universal tentang kemanusian dan lingkungan hidup dikedepankan menjadi tolak ukur dalam pergaulan. Berbagai masalah daerah dengan mudah dapat disorot dan diangkat menjadi isu Nasional. Opini masyarakat perlu diwaspadai terutama yang dapat merugikan kepentingan daerah.

2. Tingginya Potensi Komplik. Kemajemukan daerah yang disertai dengan ketimpangan sosial ekonomi merupakan kondisi yang potensial melahirkan konflik di tengah masyarakat, baik horizontal maupun vertikal. Konflik mudah meledak karenapemerintahan yang lemah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan bertindak. Situasi tersebut diperparah oleh kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran HAM dan keinginan pejabat daerah untuk meraih popularitas dari rakyat.

3. Terhambatnya Pengembangan Demokrasi. Eforia kebebasan di era reformasi telah berkembang menjadi berbagi tindakan anarkis, intimidasi, dan kekerasan. Prilaku tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi. Berkembang pula kecenderungan untuk memanipulasi aspirasi dan kehendak masyarakat guna mewujudkan kepentingan sempit suatu kelompok tertentu. Kondisi ini merupakan ancaman terhadap proses demokrasi karena akan menyumbat aspirasi rakyat.


4. Kurangnya Jaminan Memperolah Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) masih merupakan impian bagi masyarakat Bener Meriah. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang dirasakan masyarakat belum mendapat penyelesaian yang memuaskan. Tidak tuntasnaya tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM tersebut ikut menyumbang ketegangan di masyarakat yang berujung pada hilangnya ketentraman kehidupan berbangsa. Hak memperoleh perlindungan dan bebas dan rasa takut, serta hak untuk menikmati kehidupan yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat merupakan perwujudan HAM yang hakiki masih belum mendapatkan perhatian penuh pemerintahan Bener Meriah.

5. Rendahnya Penegakan Hukum. Pemerintah Bener Meriah perlu segera melakukan pencegahan terhadap setiap gejala terjadinya pelanggaran hukum. Berbagai intimidasi, pemaksaan kehendak, atau penggunaan kekerasan yang mengancam ketertiban publik dan melanggar hukum sering terjadi didalam kehidupan sehari-hari tanpa penindakan hokum yang seharusnya. Penegakan hokum yang diharapkan oleh masyarakat belum terwujud secara nyata. Berbagai kasus yang menyangkut kerugian daerah yang sangat besar tidak berhasil diselesaikan. Mafia peradilan telah menjadi rahasisa umum keberadaannya dirasakan sangat merugikan masyarakat.

Kamis, 11 Februari 2010

Kebudayaan dan sastra



Maka Demikianlah Kesusastraan itu …

Oleh: Mario Vargas Llosa

Sering terjadi, di pameran buku atau di toko buku, seorang bapak-bapak mendekati saya dan meminta tanda tangan. “Ini untuk istri saya. Ini untuk anak perempuan saya atau ini untuk ibu saya. Mereka pecinta buku dan peminat sastra,” begitu kata mereka seraya menyodorkan bukunya. saya pun bertanya, ”Bagaimana dengan Bapak sendiri? Apakah Bapak suka membaca juga?” Mereka biasanya menjawab demikian, ”Tentu saja saya suka membaca. tetapi apa boleh buat, saya terlalu sibuk untuk itu.”

…Sebuah survei yang dilakukan oleh Perkumpulan Penulis Spanyol menyatakan bahwa separuh dari penduduk Spanyol tidak pernah membaca buku …Saya prihatin bukan hanya karena mereka tidak bisa ikut menikmati keasyikan membaca sastra, tetapi karena saya yakin bahwa suatu masyarakat tanpa karya sastra ataupun orang-orang yang menyingkirkan sastra dalam hidupnya yang diam-diam menganggap sastra sebagai keburukan yang tersembunyi – akan mempunyai spiritualitas barbar yang membahayakan kemerdekaannya sendiri.

Saya bermaksud memberikan beberapa alasan untuk melawan anggapan seolah sastra merupakan pengisi waktu luang yang mewah, untuk membela bahwa sastra sesungguhnya merupakan olah batin yang menggairahkan dan memperkaya, aktivitas yang tak tergantikan untuk pembentukan warga negara supaya menjadi individu yang bebas dalam masyarakat modern dan demokratis. Sastra seharusnya sudah ditanamkan dalam keluarga sejak masa kanak-kanak dan dimasukkan dalam semua program pendidikan sebagai disiplin dasar. Tapi sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Sastra semakin tidak mempunyai tempat di dunia pendidikan bahkan sudah tidak lagi ada dalam kurikulum pendidikan.

Kita hidup dalam era spesialisasi ilmu pengetahuan, berkat perkembangan ilmu dan teknologi yang luar biasa pesatnya. Perkembangan itu telah berhasil membuat ilmu pengetahuan terpecah-pecah ke dalam bidang-bidang yang tak terkira banyaknya. ampaknya kecenderungan kultural ini akan semakin menonjol di tahun-tahun yang akan datang.

Tak dapat dipungkiri, spesialisasi membawa banyak keuntungan, sebab memungkinkan dilakukannya eksplorasi yang lebih mendalam dan berbagai percobaan yang lebih khusus terhadap suatu obyek. spesialisasi merupakan mesin kemajuan suatu ilmu. Tetapi spesialisasi juga mengandung beberapa konsekuensi negatif, karena menghilangkan beberapa unsur kultural yang umum, yang menentukan dan memungkinkan manusia hidup berdampingan, berkomunikasi, dan merasakan solidaritas. Spesialisasi menyebabkan berkurangnya komunikasi sosial, memisahkan manusia dalam kesempitan budaya para teknisi dan para spesialis.

Terspesialisasinya bahasa, kode-kode, dan informasi makin lama makin membuat manusia menjadi khusus dan terpisah. Hal tersebut bertentangan dengan pepatah tua yang apat menjadi peringatan bagi kita, ”Jangan terlalu memusatkan perhatian pada dahan pohon atau daunnya, karena kamu dapat melupakan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah pohon, dan bahwa pohon adalah bagian sebuah hutan.” Kesadaran akan adanya hutan akan menciptakan perasaan memiliki yang mengikat suatu masyarakat dalam kebersamaan dan menghindarkannya dari keterpecahan dalam kelompok-kelompok solipsistik.

Solipsisme warga negara atau seseorang dapat menyebabkan paranoia, kegilaan, distorsi kenyataan yang menimbulkan kebencian, perang, dan genosida. Pada masa ini, ilmu dan teknologi tidak dapat memainkan peran secara integral. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kekayaan pengetahuan dan kecepatan evolusinya yang menyebabkan spesialisas dan penggunaan kosakata yang tidak jelas.

Kesusastraan sebaliknya, sudah dan terus akan menjadi tanda kebersamaan dari pengalaman manusiawi; manusia mengenali dirinya melalui sastra. Misalkan kita membaca Cervantes, Shakespeare, Dante, atau tolstoy, kita akan saling memahami dan merasa sebagai bagian dari spesies yang sama. kita belajar berbagi bersama, mencoba memahami apa yang tetap sama dalam diri kita kendati perbedaan-perbedaan yang luas memisahkan kita.

Tidak ada yang lebih baik yang bisa melindungi manusia dari kebodohan prasangka buruk, rasialisme, ketakutan pada xenophobia, sektarianisme agama dan politik, juga nasionalisme yang eksklusif daripada sastra. membaca karya sastra yang baik itu menyenangkan, di samping itu kita juga mendapat pengalaman melalui angan-angan tentang apa dan bagaimana kita, dalam integrias kemanusiaan, dengan tindakan kita, mimpi-mimpi, hantu, dalam kesendirian, dan dalam hubungan kita dengan orang lan, dalam kesan umum masyarakat, dan dalam kerahasiaan ceruk kesadaran kita. Seluruh kumpulan kebenaran kontradiktif yang komplek ini – sebagaimana disebut oleh Isaiah Berlin – merupakan struktur alami kondisi manusia. dalam dunia sekarang, seluruh pengetahuan yang hidup dan menyeluruh mengenai manusia hanya didapatkan dalam sastra.

Marcel Proust mengamati bahwa hidup nyata, yang diterangi dan diwahyukan, dan yang dihidupi dengan sungguh-sungguh adalah karya sastra. Karena kecintaan pada panggilan yang ia hayati dengan kesungguhan, kata-kata ini tidak berlebihan – ia hanya ingin menegaskan bahwa hidup dapat dipahami dan dijalani dengan lebih baik berkat sastra. dengan demikian pemahaman akan hidup akan lebih penuh dan dapat dibagikan kepada orang lain.

Sastra adalah hasil karya manusia dan karena itulah kita layak bertanya tentang latar belakang asal-usulnya; bagaimana dan mengapa sastra diciptakan, bagaimana sastra telah menyumbang pembentukan humanitas, dan bagaimana sastra yang asal-usulnya bersinggungan dengan asal-usul tulisan, tetap bertahan hingga sekarang.

Salah satu dampak sastra yang menguntungkan adalah penggunaan bahasa. Sebuah komunitas tanpa karya sastra tertulis akan mengekspresikan diri secara kurang tepat, kurang kaya nuansa dan kejernihannya, daripada masyarakat yang mempunyai sarana komunikasi utama berupa kata yang telah diolah dan disempurnakan.

Seseorang yang tidak membaca atau hanya membaca sedikit memang dapat berbicaa banyak tetapi penampilannya sangat miskin an perbendaharaan katanya kurang untuk dapat menyatakan diri secukupnya. Hal ini bukan hanya soal keterbatasan komunikasi verbal, tetapi menyangkut keterbatasan intelektualitas dan imajinasi.

Ini adalah kemiskinan pemikiran dan pengetahuan karena ide dan konsep yang kita gunakan untuk menangkap fakta dan kondisi tersembunyi kita, tidak dapat diasosiasikan dalam kata-kata. Sastra tidak saja diperlukan untuk kepenuhan pengetahuan dan penggunaan bahasa, tetapi nasibnya juga terikat erat secara tak terpisahkan dengan buku, sebagai hasil industri yang sering dianggap kuno.

Bill Gates, pendiri Microsoft, beberapa waktu yang lalu sewaktu berada di Madrid berkunjung ke Royal Spanish Academy. Microsoft telah membangun banyak kerjasama dengannya untuk mendirikan yayasan-yayasan. Dalam salah satu pembicaraannnya, Gates memastikan bahwa secara pribadi dia akan menjamin bahwa huruf ň tidak akan dihilangkan dari komputer, sebuah janji yang mebuat 400 juta pengguna bahasa Spanyol dari lima benua bernapas lega, karena penghilangan huruf itu dari dunia maya (cyberspace) akan meyebabkan problem besar.

Sesudah membuat konsensi yang melegakan tentang bahasa Spanyol itu, Gates, masih dalam pembicaraan dengan Royal Academy, menyampaikan dalam jumpa pers bahwa ia ingin menunaikan dulu tujuan tertinggi dalam hidupnya sebelum ia mati, yaitu menyudahi penggunaan kertas dan kemudian buku. Gates menerangkan bahwa layar komputer dapat menggantikan kertas dalam segala fungsinya. Dia meyakinkan bahwa komputer memberikan lebih banyak manfaat; komputer hanya memerlukan tempat yang lebih sedikit dan lebih mudah dipindahkan. Sedangkan tentang berita dan sastra yang disebarkan surat kabar dan buku tanpa kertas, menurutnya akan memberikan keuntungan ekologis yaitu menghentikan perusakan hutan. Orang masih akan terus membaca tetapi pada layar komputer, dan konsekuensinya adalah bumi ini akan lebih hijau.

Saya tidak hadir ketika Gates membicarakan hal itu, tetapi saya mengikutinya melalui laporan pers. Seandainya saya ada di sana saya akan mengolok Gates yang tanpa malu mempunyai maksud untuk membuat saya dan semua kolega saya, para penulis buku, menjadi penganggur. Saya sama sekali tidak dapat menerima idenya bahwa kegiatan ”membaca” yang tidak hanya pragmatis, tidak hanya mencari informasi, atau sekedar berkomunikasi dengan cepat dan luas, dapat diintegrasikan dalam layar komputer hingga si pembaca dapat mengalami mimpi-mimpi dan kenikmatan sensasi keintiman yang sama, tingkat konsentrasi dari kesunyian rohani yang sama, yang mungkin diperolehnya ketika ia membaca sebuah buku.

Mungkin ini merupakan prasangka saya, yang tidak banyak berkutat dengan komputer, dan karena kedekatan dengan sastra yang telah lama saya alami, begitu juga dengan buku-buku dan kertas. Meskipun saya juga menikmati surfing di web untuk mencari berbagai informasi dunia, namun saya tidak akan menggunakan layar monitor komputer untuk membaca puisi Gongora, novel Onetti atau esai Octaviano Paz. Mengenai hal ini saya yakin, karena kenikmatannya sama sekali berbeda ketika membacanya dari buku. Saya yakin, dunia sastra akan mengalami bencana yang serius bahkan mematikan, apabila buku ditiadakan.

Alasan lain yang meneguhkan sastra menjadi penting dalam kehidupan sebuah bangsa adalah bahwa tanpa sastra, pemikiran yang kritis sebagai mesin perubahan sejarah dan pelindung kebebasan yang paling baik akan mengalami kehilangan yang tak dapat dipulihkan. Hal ini disebabkan karena karya sastra yang baik akan selalu memberikan pertanyaan yang radikal mengenai dunia tempat kita hidup. Semua karya sastra besar mempunyai kecenderungan untuk menggelitik pembacanya, sering tanpa maksud si penulis. Sebuah karya sastra memang tidak akan bermakna bagi mereka-mereka yang sudah merasa mapan dengan kehidupannya.

Sastra adalah makanan untuk semangat pemberontakan, penyebar luas ketidak-cocokan, dan perlindungan bagi mereka yang mengalami kelimpahan atau kekurangan dalam hidup… Sastra, tentu saja hanya menenangkan sementara saja berbagai ketidakpuasan vital ini. Selama waktu yang istimewa ini, ketika kita menunda sementara hidup kita, ilusi sastra mengangkat dan membawa kita meloncat ke luar dari waktu dan sejarah, kemudian kita menjadi warga negara pulau keabadian. Kita menjadi merasa lebih hebat, lebih kaya, lebih kompleks, lebih bahagia, merasa lebih berorientasi daripada ketika kita berada dalam rutinitas hidup yang menyesakkan.

Membaca sastra juga membolehkan kita hidup dalam dunia dengan peraturan yang melampaui hukum-hukum kaku yang selama ini membelenggu kehidupan yang nyata. Untuk sementara, kita akan terbebas dari penjara waktu dan ruang dalam dunia di mana perbuatan yang keterlaluan tidak dihukum dan kita menikmati kekuatan yang tak terbatas.

Mungkin, lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan untuk menopang kontinyuitas budaya dan memperkaya bahasa, kontribusi sastra yang paling besar untuk kemajuan manusia adalah memberi kita peringatan (dalam banyak kasus tanpa sengaja) bahwa dunia ini dibuat begitu jelek; bahwa banyak orang, seperti para penguasa hanya bermulut manis; dan bahwa dunia dapat menjadi lebih baik, seperti dunia yang kita ciptakan lewat imajinasi dan bahasa. Suatu masyarakat yang bebas dan demokratis harus mempunyai warga negara yang bertanggung jawab dan kritis dan selalu sadar untuk menguji dunia tempat hidupnya. Bacaan yang baik dapat mengantar pada pembentukan warga negara yang kritis dan bebas, yang tidak mau dimanipulasi tetapi berkemauan untuk diperkaya dengan mobilitas rohani yang permanen dan imajinasi yang dinamis.

Sastra, meski hanya memenuhi ketidakpuasan manusia untuk sementara saja, dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kepekaan kritis dan perlawanan terhadap hidup. Dengan mengembangkan hal tersebut dapat membuat seseorang lebih mudah menerima kenyataan hidup yang tidak membahagiakan. Hidup dalam ketidakpuasan, berperang melawan eksistensi, merupakan pencarian hal-hal yang absurd, yang mengharuskan diri berperang seperti Kolonel Aureliano Buendia dalam A Hundred Years of Solutide yang memahami betul bahwa ia akan kalah. Akan tetapi tanpa ketidakpuasan dan pemberontakan melawan kesempitan dan kepelikan hidup, kita hanya akan tinggal dalam dunia primitif, dan sejarah akan berhenti.

Ketika novel Don Quixote de la Mancha pertama kali terbit, pembaca menertawakan si pemimpi yang eksentrik ini dan pelaku-pelaku lain dalam novel. Kini kita tahu bahwa keyakinannya (Don Quixote) melihat kincir angin sebagai raksasa, dan ajakannya untuk bertindak yang tampaknya absurd, ternyata merupakan kedermawanan yang paling tingi, sebagai alat protes karena adanya kesengsaraan dunia dalam harapan untuk mengubahnya.

Penemuan-penemuan dari semua penulis sastra yang besar, memindahkan kita dari penjara realitas dan membawa kita meloncat ke dalam dunia fantasi, membuka mata kita terhadap rahasia dan aspek-aspek gelap kemanusiaan kita.

…Telah sering dikatakan bahwa sebuah gambar dapat bermakna ribuan kata. Perkembangan media audiovisual yang begitu hebat pada abad ini, pada satu sisi telah merevolusi komunikasi dengan menjadikan setiap orang di atas planet ini berpartisipasi dalam kejadian yang sedang berlangsung.

Di sisi lain, perkembangan ini juga cenderung mencaplok waktu yang dapat digunakan manusia untuk bersantai dan menghibur diri dengan membaca buku sastra. Karena itulah perkembangan ini justru menjauhkan mereka dari sastra. Perkembangan ini memungkinkan kita memahami sebuah kemungkinan skenario sejarah untuk masa depan yang dekat, sebuah masyarakat modern, penuh dengan komputer, layar monitor dan pengeras suara, dan tanpa buku. Saya kawatir bahwa dunia cyber ini, di samping kemakmuran dan kekuatannya, juga standard hidupnya yang tinggi dan pencapaian kemajuan ilmu pengetahuannya, di sisi lain akan membuat masyarakat menjadi sangat tidak beradab, lesu, tanpa jiwa – meletakkan kemanusiaan dalam robot-robot yang melepaskan kemerdekaan.

Namun sejarah belum ditulis, dan syukurlah, tidak ada penentuan nasib yang telah diputuskan untuk kita. Seluruhnya tergantung pada visi kita yang akan menentukan apakah utopia yang mengerikan itu akan menjadi kenyataan atau tidak. Jikalau kita tidak ingin kehilangan sastra dan menjaga sumber-sumber kekuatan yang memotivasi imajinasi dan ketidak puasan, yang memperhalus kepekaan kita dan mengajarkan kita berbicara dengan fasih dan kuat, kita harus bertindak secara cerdas. kita harus membaca buku-buku yang baik, merangsang dan mengajarkan generasi masa depan bagaimana membaca – dalam keluarga, dalam kelas, di media, dan di semua wilayah komunal sebagai tugas penting yang meliputi dan memperkaya semuanya. ***

(Karangan ini merupakan ringkasan dari pidato Mario Vargas Llosa ketika diangkat menjadi kepala Jurusan Sastra dan kebudayaan Ibero-Amerika, Departemen Spanyol-Portugis, Universitas Georgetown. Dimuat dalam Georgetown Magazine, Summer 2001. Mario Vargas Llosa adalah seorang pengarang, cendekiawan dan aktivis politik dari Peru. Pidato tersebut berbahasa Spanyol, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Serefina Hager. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Purnawijayanti. Dimuat di BASIS, No. 09-10, Tahun ke 52, Sept-Okt 2003. Diketik ulang

Tiga Cerita

( I )


Pada satu kesempatan dalam pelatihan penelitian bagi peneliti muda, seorang professor dengan spesialisasi kesehatan anak dari University of Amsterdam Belanda mengungkapkan satu pengalamannya ketika terlibat dalam kegiatan pemberian suplemen Fe (zat besi) bagi anak-anak Afrika yang banyak mengalami kondisi anemia atau kadar haemoglobin darahnya di bawah normal. Biasanya anak-anak Afrika yang mengalami anemia ini juga mengalami kurang gizi dan rentan terhadap infeksi, baik akut maupun kronik.

Kejadian yang diungkap oleh profesor itu adalah sehabis pemberian Fe atau zat besi itu justru banyak kejadian anak-anak yang menerima suplementarisasi Fe ini malah meninggal. Memamg belum dilakukan penelitian yang mendalam mengenai kejadian ini tetapi profesor itu mengajukan hipotesis bahwa kematian anak-anak setelah pemberian Fe itu justru disebabkan Fe atau zar besi yang mana Fe atau zat besi itu juga adalah makanan bagi bakteri sehingga bakteri-bakteri yang mengakibatkan adanya infeksi kronik pada anak-anak itu justru mendapatkan makananannya dan ”bangun” dari ”setengah tidurnya” kemudian berkembang menjadi infeksi yang akut dan akhirnya anak meninggal dunia. Perbaikan kadar haemoglobin untuk memperbaiki kondisi anemia ternyata kalah cepat dari perkembangan bakteri yang mendapatkan makanannya dari Fe atau zat besi, yang mana sebenarnya zat besi ini adalah diperuntukkan sebagai bahan dasar bagi pembentukan haemoglobin anak. [1]

( II )

Pada tahun 1839 Gubernur Jenderal Usmani untuk Mesir, Mohammad Ali Pasya yang terkenal itu, sudah tiga puluh dua tahun sibuk memperlengkapi diri dengan persenjataan tepat guna yang mengikuti contoh Barat di masa itu. Kegagalan ekspedisi Napoleon ke Mesir telah membuka mata Mohamad Ali, betapa pentingnya suatu angkatan laut yang tangguh. Ia telah bertekad untuk membangun armada yang terdiri dari kapal-kapal perang sejenis yang dimiliki Barat di masa itu. Ia sadar bahwa ia tidak akan mandiri di bahari selama ia tidak mampu membangun kapal-kapal perang Mesir di galangan-galangan kapal Mesir oleh kaum pekerja Mesir. Ia menyadari pula, bahwa ia tidak dapat melengkapi diri dengan staf teknik armada Mesir memperkerjakan insinyur-insinyur perkapalan dan ahli-ahli barat lain demi pendidikan para siswa Mesir. Maka diikhtiarkan oleh Mohamad Ali pemanggilan ahli-ahli Barat. Dan tertariklah calon-calon dari Barat yang memenuhi syarat untuk melamar pekerjaan di Mesir itu karena skala gaji yang ditawarkan Pasya itu memang menarik. Namon toh para pelamar Barat itu tidak bersedia menandatangani kontrak bila belum ada kepastian tentang kemungkinan memindahkan keluarga mereka ke Mesir; dan mereka tak bersedia memindahkan keluarga mereka tanpa kepastian jaminan yang cukup mengenai pemeliharaan kesehatan mereka menurut taraf pertolongan kesehatan berukuran Barat di waktu itu.

Begitulah Mohamad Ali mengalami, bahwa ia tidak dapat memperkerjakan para ahli bahari dari Barat yang sangat ia perlukan itu tanpa mengkaryakan tabib-tabib Barat untuk merawat para istri dan anak-anak dari para ahli bahari tersebut. dan karena ia telah berkemauan keras untuk membangun armada Mesir, maka tabib-tabib itu pun ia karyakan. Para dokter serta para ahli dengan keluarganya datang bersama-sama dari Barat; para ahli membangun arsenal secara yang seharusnya, sedangkan para dokter merawat dengan baik para istri dan anak-anak dari pemukiman Barat di Iskandaria itu.

Tetapi seusai para dokter itu bertugas terhadap para asisten Barat, ternyatalah mereka masih punya waktu berlebih … dan karena mereka dokter-dokter yang penuh energi dan bercita rasa sosial, mereka memutuskan untuk berbuat sesuatu juga demi penduduk Mesir setempat. Mulai dengan apa? Perawatan wanita yang bersalinlah yang jelas paling diperlukan. Demikianlah kemudian timbul suatu pelayanan untuk yang bersalin di dalam daerah-daerah tertutup arsenal angkatan laut itu yang disebaban oleh suatu rentetan peristiwa yang seperti Anda akui, tidak dapat dihindari itu.

Di kala itu seorang dokter Barat tidak diperkenankan mendekati pasien wanita lebih dari sekedar meraba tangan untuk memeriksa denyut nadi yang dijulurkan oleh pasien wanita dari balik tirai. Padahal sekarang setelah arsenal-arsenal dibangun oleh Pasya, para wanita tanpa malu-malu memberanikan diri masuk dalam ruangan tertutup sebuah arsenal kaum asing untuk memanfaatkan jasa-jasa para ahli kebidanan Barat.

Moral peristiwa ini ialah, betapa cepat dalam pertukaran kebudayaan yang satu membawa yang lain, dan betapa revolusioner pengaruh proses seperti itu.[2]

( III )

Ilham. Ilham itu harus dicari. Jangan ditunggu dia datang sendiri. Ilham itu harus dikejar, diperas, diburu dan dipeluk.

Dengan modal intelektualitas yang cukup yang dilambari emosi yang menyala-nyala dalam memburunya, maka ilham yang kita peroleh akan cukup memiliki dimensi kedalaman.

Sejalan dengan itu, perlukah kita membaca? Tentu saja. Membaca, membaca dan teruslah membaca. Terserah apa itu buku, majalah, alam, masyarakat dan … manusia. Aku membaca bukan hanya untuk tahu. Aku juga ingin bahwa apa yang kubaca itu ikut membentuk sebagian dari pandanganku. Karena itu aku mencerna, memeras dengan modal intelektualitas dan kepribadianku yang sudah ada, agar dengan demikian kepribadianku menjadi lebih kaya dengan intelektualitas yang tersedia dan dalam pergulatannya dengan situasi. Memang aku dahaga. dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikkan.


Apa Yang Ada Di Benak Presiden Tentang Kebudayaan (yang berkembang dalam dinamika hidup bangsa Indonesia yang berdaulat dan bermartabat)?

Pada saatnya masalah kebudayaan dan pendidikan dalam pemerintahan diakomodasi oleh Departemen P dan K atau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Masalah Pariwisata lama dalam pemerintahan di Indonesia selalu dihubungkan dalam departemen yang mengatur pos dan telekomunikasi atau Departemen Pariwisata, Pos dan telekomunikasi (Par-pos-tel). Sejak krisis 1997-1998 (sejak IMF ‘mengendalikan’ Indonesia dengan letter of intent-nya), Abdul Latif menjadi Menteri pertama (16 Maret-21 Mei 1998) departemen baru: Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, yang mulai tahun 2004 berubah menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Kalau dalam Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ada di bawah Menko Kesra, pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), Yudhoyono sebagai presiden terpilih menempatkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Ada apa di benak Presiden Yudhoyono terkait dengan masalah kebudayaan ini? ***

Nomenklatur Departemen Kebudayaan (dan Pariwisata)

Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Demikian pula Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, ditambah dengan label Reformasi Birokrasi. Jelas ini menambah cakupan kementerian tersebut serta penekanan tugas utamanya. Nama suatu departemen sangat menentukan karena hal itu mutlak berhubungan dengan tugas pokok dan misinya. Perubahan nama berkaitan pula dengan pergeseran peran suatu departemen.

Ternyata, dalam kabinet yang baru terbentuk, masalah kebudayaan tetap diurus oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Padahal, dalam kongres kebudayaan yang berlangsung di Bogor beberapa waktu yang lalu, diusulkan agar kebudayaan menjadi departemen tersendiri. Usulan serupa telah dikemukakan dalam kongres-kongres kebudayaan sebelumnya. Namun, gagasan tersebut tetap belum diterima oleh Presiden.

Pada era Orde Baru, masalah kebudayaan diurus oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan yang terdapat pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada departemen ini Dirjen Kebudayaan boleh dikatakan minoritas dalam hal personel dan anggaran dibanding dirjen lain pada departemen pendidikan.

Sejak era reformasi, kebudayaan dipindahkan ke Departemen Pariwisata sehingga menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Tidak tanggung-tanggung, kebudayaan diletakkan pada posisi pertama mendahului pariwisata. Dibandingkan dengan kondisi ketika bernaung di bawah departemen pendidikan, maka saat bergabung bersama pariwisata, anggaran dirjen kebudayaan meningkat. Apalagi sektor kebudayaan ini dibagi menjadi dua dirjen, yakni Dirjen Sejarah dan Purbakala (sering dipelesetkan menjadi Dirjen Sepur) serta Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film.

Dirjen Sejarah dan Purbakala membawahkan direktorat yang berhubungan dengan sejarah dan arkeologi. Pada Dirjen Kebudayaan semasa di bawah Departemen Pendidikan, hanya terdapat satu direktorat sejarah. Sedangkan pada Depbudpar ada dua direktorat, yakni Direktorat Nilai Sejarah dan Direktorat Geografi Sejarah. Menurut saya, pembagian keduanya menjadi tidak jelas, lebih baik bila dijadikan Direktorat Sejarah Nasional dan Direktorat Sejarah Lokal. Bila nanti akan ditambah satu lagi, bisa dimasukkan Direktorat Sejarah Maritim.

Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film memiliki beberapa direktorat, yakni Direktorat Tradisi, Direktorat Karakter dan Pekerti Bangsa, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta Direktorat Kesenian dan Direktorat Film. Kesenian dan film lebih mudah didefinisikan, sungguhpun dalam kasus ini sengaja dipisahkan antara film dan kesenian atau, dengan kata lain, kesenian di sini mencakup sesuatu yang tidak termasuk film. Apakah tidak lebih baik bila dibedakan antara “kesenian tradisional” dan “kesenian modern”, misalnya.

Pertanyaannya, apa yang diurus oleh direktorat tradisi? Tradisi lisan yang terdapat di Nusantara ini? Atau tradisi apa? Yang lebih repot lagi kalau suatu departemen bertanggung jawab atas “karakter dan pekerti bangsa”. Siapa yang berwenang menangani “karakter dan pekerti bangsa”? Bukankah lebih tepat jika hal itu menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional? Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seyogianya masuk Departemen Agama. Bukankah direktorat ini mengurus agama “asli” orang Indonesia, bukan agama “impor”? Memang persoalannya menjadi pelik ketika dibedakan antara agama dan kepercayaan. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu (dan belakangan Konghucu) dikategorikan sebagai agama, sedangkan agama “asli” Indonesia digolongkan sebagai kepercayaan, meskipun kepercayaan itu terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sesungguhnya penamaan Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film ini perlu dikaji ulang, termasuk direktorat yang di bawahnya. Demikian pula penamaan tiga staf ahli menteri bidang “ekonomi dan iptek”, “pranata sosial”, dan “multikultural”. Sebaiknya nomenklaturnya ditata kembali agar lebih relevan dengan bidang kebudayaan dan pariwisata. Penamaan suatu jabatan yang tidak jelas akan menimbulkan kebingungan dalam mengemban tugas tersebut.

Pada departemen ini juga terdapat Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata. Di sini terkesan bahwa yang hendak dikembangkan adalah bidang kebudayaan dan pariwisata. Namun, badan ini membawahkan di antaranya Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia. Ternyata pusat ini berhubungan dengan SDM atau manusia. Tidak jelas apakah itu pegawai departemen atau manusia yang berhubungan dengan kebijakan departemen ini. Antara Badan dan Pusat yang di bawahnya terdapat perbedaan yang tentu akan menimbulkan kerancuan.

Terkesan selama ini bahwa memajukan pariwisata merupakan tugas prioritas departemen ini. Pariwisata mendatangkan turis asing dan pada gilirannya memasukkan devisa bagi negara kita. Keberhasilan dalam bidang ini bisa diukur antara lain dari jumlah kunjungan wisatawan ke Tanah Air dalam periode tertentu. Namun, bagaimana mengukur keberhasilan dalam bidang kebudayaan? Padahal bidang kebudayaan tidak kalah penting bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Terlepas dari itu, tata nama organisasi ini perlu diatur lebih baik sehingga kebijakan dan programnya bisa efektif. Pernyataan Shakespeare “apalah arti sebuah nama” tentu tidak berlaku di sini.

Asvi Warman Adam, AHLI PENELITI UTAMA LIPI
SUMBER: Koran Tempo, 29 Oktober 2009

Memerintah Tanpa Budaya (Lagi)

Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014 secara mengejutkan tidak lagi menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tetapi kini berada di bawah Menko Perekonomian. Jika strukturisasi kabinet adalah sebuah refleksi dari sistem pemikiran tentang idealitas pemerintahan, dengan kebijakan itu, unsur ”kebudayaan” tampaknya telah dianggap sebagai substruktur yang tak jauh berbeda dengan ”pariwisata”.

Dalam kacamata kuantitatif, konsepsi kebudayaan itu hadir sebagai entitas mikro dalam desain pembangunan nasional. Bacalah, anggaran belanja yang tertuang dalam RAPBN tahun 2010, memberikan alokasi dana kepada kebudayaan sekitar Rp 300 miliar (0,028 persen) dan kesenian sekitar Rp 78 miliar (0,0074 persen). Bisa dikatakan sama dengan tahun sebelumnya.

Jika pembangunan kebudayaan merupakan bagian kecil dalam desain pembangunan nasional, penting kiranya menanyakan kembali orientasi pemerintahan masa kini. Bagaimana rupa pemerintah tanpa budaya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dibangun tanpa fondasi strategis terkait dengan kebudayaan?

Budaya sebagai alas

Penelusuran di dalam rumpun ilmu sosial, khususnya sebuah teori ekonomi, akan didapat istilah corporate culture sebagai titik orientasi kinerja seorang karyawan dalam praksis kerjanya sehari-hari. Demikian pula, teori kepemimpinan memberikan istilah transformational leadership dalam setiap organisasi untuk mewarisi semangat yang dibentuk para pendiri perusahaan.

Teori politik yang dikembangkan Hannah Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1976: 89) memperlihatkan integrasi sosial di dalam sebuah pemerintahan haruslah diikat dengan ”sebuah ketundukan terhadap identitas yang terus diperkuat oleh penguasa”.

Ikatan-ikatan inilah yang menjadikan sebuah negara-bangsa bisa didirikan. Eksplisitasi di dalam anggaran dasar yang disebut dengan undang-undang dan semboyan yang disebut dengan falsafah bangsa adalah orientasi kultural yang didesain sejak awal pembentukan negara. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan falsafah ini sesungguhnya lebih penting dari kebutuhan apa pun di republik ini.

Tinjauan pembangunan kultural dari masa ke masa memperlihatkan adanya upaya yang sangat luar biasa membangun kebudayaan sejak awal. Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-12 memperlihatkan konsepsi kebudayaan melalui dharma sebagai pengabdian kepada Syiwa Buddha. Raja Hayamwuruk sebagai pelindung negeri dan abdi yang menyejahterakan rakyat selalu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk ”menyembah Syiwa Buddha”.

Demikian pula, Kerajaan Islam pada 1478 dalam chandra bumi sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478) meninggalkan kebudayaan intangible bagi generasi-generasi sesudahnya. Istana kerajaan Raden Fatah tidak ditemui, tetapi Masjid Demak membawa ikon tentang kebudayaan Islam masa lampau yang terpelihara hingga kini.

Fotokopi budaya kolonial

Di bagian lain, pemerintahan Hindia Timur Belanda, yang berada di bawah Kementerian Tanah Jajahan, telah membawa kultur baru dalam pembentukan sistem kebudayaan. Sebagaimana garis kebijakan Kementerian Kolonial di The Haque (Den Haag), penerapan kebijakan di tanah jajahan haruslah dilandasi oleh hadirnya kekuasaan ”misterius” yang mampu memaksa para warga koloni untuk tunduk dan patuh.

Sistem cultuurstelsel (tanam paksa), landrente (pajak tanah), sistem onderneming (perkebunan), dan poenali sanctie (hukum buruh) dalam kebijakan perburuhan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu telah memengaruhi pola pikir masyarakat kolonial tentang idealitas-idealitas sebuah kebudayaan. Artinya, kebudayaan haruslah di bawah kendali sistem perekonomian yang memiliki orientasi jelas, yakni orientasi kapitalistik yang menghamba terhadap keuntungan.

Kita berada pada sebuah masa ketika gerakan angka-angka dalam statistik ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan. Dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanyalah masalah kuantifikasi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Persoalan-persoalan identitas keindonesiaan, semangat kebersamaan, keadilan sosial, dan pelestarian filsafat bangsa pun tertinggal sebagai bagian dari kurikulum tua yang tidak pernah diperbarui di dalam sistem pendidikan kita.

Lebih dari itu, pembangunan kebudayaan dalam strategi pemerintahan seperti barang apak yang disimpan di gudang tua tak tersentuh. Sampai lima tahun lagi. Setidaknya.

Saifur Rohman Pengamat Seni dan Budaya, Alumnus Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, menetap di Semarang

KOMPAS, Sabtu, 14 November 2009


Revolusi di Zaman Globalisasi

Resensi buku: COMMONWEALTH

Editor: Antonio Negri dan Michael Hardt

Penerbit: Harvard University Press, AS

Cetakan: Pertama, Oktober 2009

Tebal: xiv + 434 halaman


Dalam buku ini, Negri menyerang pakar globalisasi seperti Joseph Stiglitz dan Thomas Friedman. Ia menekankan perlunya konstitusi untuk kemakmuran bersama.

“Our sabotage organizes the proletarian ‘assault on the heavens’. And in the end those damned heavens will no longer be there!” (Antonio Negri dalam Capitalist Domination and Working Class Sabotage, Red Notes, 1977)

Antonio Negri memang selalu menarik perhatian kaum muda progresif. Guru besar politik di Universitas Padua, Italia, itu tidak hanya memaparkan teori-teori politik. Ia juga aktifis politik radikal yang disegani penguasa Italia. Ketika Parai Komunis Italia berkompromi dengan Partai Kristen-Demokrat untuk membentuk pemerintahan pada 1977, ia dan kelompoknya menuding itu pengkhianatan Partai Komunis terhadap gerakan melawan kapitalisme.

Kini corak pemikiran Negri bergeser dari Marxisme tradisional ke pasca-Marxisme. Puncaknya, ia merumuskan dua konsep sekaligus, yakni konsep ”eksploitasi” dan konsep ”immaterial labour” (”buruh nirmateri”), yang kemudian djabarkan dalam trilogi buku Empire-Multitude-Commonwealth. Menurut Negri, masalah yang dihadapi umat manusia saat ini bukan sekedar penguasaan kapital oleh segelintir orang, melainkan keberadaan manusia sudah dieksploitasi sedemikian rupa melalui buruh nirmateri (baca: pengetahuan dan bahasa).

Sebagai pemungkas dari trilogi, buku Commonwealth mengurai enam bagian yang disela Intermezzo (halaman 189-202). Buku ini menyodorkan dua hal: soal etika kebebasan yang menjadi rujukan dalam hubungan antarmanusia dan ihwal perlunya konstitusi untuk kemakmuran bersama. Negri dan Hardt sangat menyadari bahwa globalisasi sedang melaju cepat dan dampak utama globalisasi adalah sebuah kondisi bersama dan umat manusia harus berbagi, tidak boleh ada yang tersingkirkan.

Negri mengkritik beberapa teoritikus globalisasi, seperti Ulrich Beck dan Anthony Giddens, yang mengabaikan adanya kelanjutan proyek modernitas dari struktur sosial yang eksploitatif. Serangan Negri juga ditujukan kepada Joseph Stiglitz, David Held, dan Thomas Friedman. Ketiga pakar globalisasi ini memang mengusulkan perlunya reformasi sistem global, tetapi trio itu anehnya sama sekali belum mempertanyakan struktur kapital dan kepemilikan (halaman 19). Jika hendak mereformasi sistem global, sudah selayaknya struktur dan kepemilikan warisan revolusi borjuis itu dibongkar lebih dulu. Karena itu, reformasi yang diusulkan tentu tak mendasar, bahkan sekedar mengartikulasikan demokrasi, kesetaraan, dan kebebasan demi melanggengkan komposisi lama dari sebuah republik.

Dalam tiga bagian di awal buku Commonwealth, tampak benang merah antara tatanan republik, modernitas, dan kapital. Jumlah negara berbentuk republik saat ini jauh lebih banyak dari pada negara berbentuk nonrepublik, tapi perilaku negara republik nyaris secara substansal tak berbeda jauh dari tabiat negara nonrepublik, seperti negara kerajaan. Tiga revolusi borjuis terbesar dalam sejarah, yang terjadi di Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis, justru melahirkan bentuk republik kepemilikan (republic of property), yang pada ujungnya lebih mengutamakan kepemilikan sekelompok orang daripada memperhatikan kemiskinan.

Negara republik semacam itu telah melahirkan kepemilikan pribadi di atas kepentingan umum. Bahkan perdebatan kaum federalis Amerika yang mengawali penulisan konstitusi justru mendorong terbentuknya negara republik yang menyerap kekuatan konstituen ke dalam kekuasaan konstitusional. Kekuatan konstituen memang secara substantif diakui sebagai hal fundamental dalam konstitusi Amerika, tetapi harus dipahami bahwa kekuatan itu mewujud ke dalam watak patrimonial para pemegang kebijakan. gejala seperti itu, tulis Negri, juga terjadi di mana-mana tatkala republik bukan lagi milik masyarakat pada saat kebijakan modernisasi membutuhkan kapital. Peminggirian terjadi pada tingkat domestik sampai komunitas internasional.

Pada tiga bagian akhir bukunya, Negri mengupas kembalinya Empire (halaman 206) dan mengelola revolusi. Menurut dia, karakter Empire pada periode Bush selalu bertumpu pada pendekatan ”kekuatan keras” (hard power). Sebaliknya, pada periode yang sedang berjalan saat ini, Empire itu hendak dikukuhkan melalui ”kekuatan lunak” (soft power). Intinya, dominasi dan eksploitasi terhadap lawan-lawan politik negara adidaya akan terus dilakukan dengan kecerdikan dan kecermatan buat menciptakan keseimbangan wacana. Revolusi tidak lagi melalui kekerasan, tapi lebih baik memasuki jalan konstitusional demi menciptakan institusi yang adil dan sejahtera.



Blok Asia Tenggara ?

Bayangkan jika satu daerah yang mempunyai penduduk sekitar 500 juta jiwa itu bekerja-sama membangun satu blok seperti blok yang di-tumbuh-kembang-kan oleh Hugo Chavez dan Castro di Amerika Latin. Bayangkan pula jika blok itu diujung-tombaki oleh negara yang jumlah penduduknya hampir 250 juta jiwa dengan kekayaan alam yang melimpah. Kekuatan seperti apakah yang akan tumbuh sebagai alternatif pengimbang kekuatan kapitalisme internasional atau neoliberalisme? Maka, bayangkanlah blok itu adalah blok Asia Tenggara.

Dunia yang semakin berkembang cepat ini sudah menjadi layaknya suatu anyam-anyaman yang rapat yang mana sudah menjadi tidak ada satu pun negara-bangsa bisa memakmurkan rakyatnya tanpa adanya kerjasama dengan negara-bangsa lain

Kerjasama antar negara-bangsa dalam satu kedekatan geografis menjadi salah satu pemikiran utama dalam pemikiran regionalisme sebagai partner dari globalisasi yang merebak. Hanya saja ketika regionalisme itu hanya berhenti pada aspek ekonomi saja maka yang terjadi adalah regionalisme itu merupakan ”anak cabang” dari globalisasi semata.

Maka, ketika kerjasama itu meluas pada aspek politik, terjadilah perkembangan suatu blok kekuatan yang mampu mempengaruhi peta geopolitik internasional. Inilah yang pada dasarnya harus dibangun oleh Asia Tenggara, tidak hanya masalah kerjasama ekonomi saja tetapi juga harusnya dapat merupakan blok kekuatan penyeimbang dari hegemoni negara-negara barat terutama Amerika Serikat.

Maka berbagai permasalahan terkait ribut-ribut dengan Malaysia dalam beberapa kasus dan terakhir terkait dengan perdagangan senjata yang ”menyenggol” otoritas di Philipina, perspektif potensi untuk berkembangnya blok kekuatan Asia Tenggara harus juga menjadi salah satu sudut pandang.

Artinya ini adalah, apakah berbagai kasus itu muncul untuk mencegah potensi berkembangnya blok Asia Tenggara supaya tidak menjadi fakta yang merepotkan kapitalis internasional di kemudian hari?

Bahwa berbagai kasus yang muncul terkait dengan Malaysia akhir-akhir ini adalah sungguh mengusik rasa kebangsaan kita, rasa nasionalisme kita, ya, dan itu harus kita sikapi secara tegas, dingin dan terhormat. Pemerintah yang dipilih rakyat itu harus juga lebih berani dalam bersikap, lebih tegas dalam mengambil tindakan dan juga yang tidak boleh dilupakan mengajak rakyat untuk ikut terlibat dan memahami masalah yang mengusik rasa kebangsaan ini secara cerdas dan terhormat.

Ini masih jauh dari pendekatan siap perang untuk damai, tidak, ini masih jauh dari itu. Yang diperlukan adalah sebenarnya pemerintah yang berwibawa, pemerintah yang akan membuat negara lain mundur ketika akan mengusik kehormatan bangsa. Bahwa di belakang itu diperlukan angkatan perang, ya itu memang diperlukan, tetapi istilah man behind the gun itu paling tidak ada dua hal yang terlibat, yaitu ”man” dan ”the gun”, orang dan senjatanya. Soal senjata, soal angkatan perang, seburuk apapun kondisi TNI sekarang ini, dibandingkan dengan angkatan perang se-Asia Tenggara kita masih diperhitungkan. Yang perlu dibenahi adalah ”man”-nya, yang dalam ranah politik adalah pemerintah-nya atau dalam hal ini khususnya adalah presiden-nya. Beranikah dia? Itu masalahnya.

Dan ketika sosok ”man” di belakang ”senjata” ini adalah membuat orang atau bangsa lain tidak berani mengusik, atau sungkan mengusik, maka barulah cita-cita blok Asia Tenggara itu bisa diwujudkan perlahan. Tanpa itu jangan bermimpi. Tanpa itu, bagi kapitalisme internasional, devide et impera tetap akan menjadi strategi utama yang murah meriah, yang kadang hanya cukup dengan memencet tombol di keyboard komputer saja …***

DEMOKRASI



Big Brother Democracy

By Naomi Klein

Recently, as protesters gathered outside the Security and Prosperity Partnership (SPP) summit in Montebello, Quebec, to confront US President George W. Bush, Mexican President Felipe Calderón and Canadian Prime Minister Stephen Harper, the Associated Press reported this surreal detail: “Leaders were not able to see the protesters in person, but they could watch the protesters on TV monitors inside the hotel…. Cameramen hired to ensure that demonstrators would be able to pass along their messages to the three leaders sat idly in a tent full of audio and video equipment…. A sign on the outside of the tent said, ‘Our cameras are here today providing your right to be seen and heard. Please let us help you get your message out. Thank You.’”

Yes, it’s true: Like contestants on a reality TV show, protesters at the SPP were invited to vent into video cameras, their rants to be beamed to protest-trons inside the summit enclave. It was security state as infotainment–Big Brother meets, well, Big Brother.

The spokesperson for Prime Minister Harper explained that although protesters were herded into empty fields, the video-link meant that their right to political speech was protected. “Under the law, they need to be seen and heard, and they will be.”

It is an argument with sweeping implications. If videotaping activists meets the legal requirement that dissenting citizens have the right to be seen and heard, what else might fit the bill? How about all the other security cameras that patrolled the summit–the ones filming demonstrators as they got on and off buses and peacefully walked down the street? What about the cellphone calls that were intercepted, the meetings that were infiltrated, the e-mails that were read? According to the new rules set out in Montebello, all of these actions may soon be recast not as infringements on civil liberties but the opposite: proof of our leaders’ commitment to direct, unmediated consultation.

Elections are a crude tool for taking the public temperature–these methods allow constant, exact monitoring of our beliefs. Think of surveillance as the new participatory democracy; of wiretapping as the political equivalent of Total Request Live.

Protesters in Montebello complained that while they were locked out, CEOs from about thirty of the largest corporations in North America–from Wal-Mart to Chevron–were part of the official summit. But perhaps they had it backward: The CEOs had only an hour and fifteen minutes of face time with the leaders. The activists were being “seen and heard” around the clock. So perhaps instead of shouting about police state tactics, they should have said, “Thank you for listening.” (And reading, and watching, and photographing, and data-mining.)

The Montebello “seen and heard” rule also casts the target of the protests in a new light. The SPP is described in the leaders’ final statement as an “ambitious” plan to “keep our borders closed to terrorism yet open to trade.” In other words, a merger of the North American Free Trade Agreement and the homeland security complex–NAFTA with spy planes.

The model dates back to September 11, when the US Ambassador to Canada, Paul Cellucci, pronounced that in the new era, “security will trump trade.” But there was an out clause: The trade on which Canada’s and Mexico’s economies depend could continue uninterrupted, as long as those governments were willing to welcome the tentacles of the US “war on terror.” Canadian and Mexican business leaders leapt to surrender, aggressively pushing their governments to give in to US demands for “integrated” security in order to keep the goods and tourists flowing.

Almost six years later, the business leaders at Montebello–under the banner of the North American Competitiveness Council, an official wing of the SPP–were still holding up “thickening borders” as the bogeyman. The fix? According to the SPP website, “technological solutions, improved information-sharing, and, potentially, the use of biometric identifiers.” From experience we know what this means: continent-wide no-fly lists, searchable and integrated databases, as well as the $2.5 billion contract to Boeing to build a “virtual fence” on the northern and southern borders of the United States, equipped with unmanned drones.

In short, under the SPP vision of the continent, “thick” borders will soon be replaced with a nearly invisible web of continental surveillance–almost all of it run for profit. Two members of the SPP advisory group–Lockheed Martin and General Electric–have already received multibillion-dollar contracts from the US government to build this web. In the Bush era, security doesn’t trump big business; it may be the biggest business of all.

In the run-up to the SPP summit, a spate of surveillance scandals helped paint a fuller picture. First, Congress not only failed to curtail the National Security Agency’s warrantless wiretapping but opened the door to snooping into bank records, phone call patterns and even physical searches–all without any onus to prove the subject is a threat. Next, the Boston Globe reported on plans to link thousands of CCTV cameras on streets, subways, apartment buildings and businesses into networks capable of tracking suspects in real time. And on August 15, confirmation came that the National Geospatial-Intelligence Agency–the arm of the US military that runs spy planes and satellites over enemy territory–would be fully integrated into the infrastructure of domestic intelligence gathering and local policing, becoming what the agency calls the “eyes” to the NSA’s “ears.”

Add a few more high-tech tools–biometric IDs, facial-recognition software, networked databases of “suspects,” GPS bundled into ever more electronic devices–and you have something like the world of total surveillance most recently portrayed in The Bourne Ultimatum.

Which brings us back to the Security and Prosperity Partnership. Who needs clumsy old border checks when the authorities are making sure we are seen and heard at all times–in high definition, online and off-, on land and from the sky? Security is the new prosperity. Surveillance is the new democracy. ***


Lakon 98

Lakon 98 adalah judul panggung demokrasi pada pemilihan umum 2009 ini. Disebut 98 itu bukan untuk mengingat semangat reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, tetapi lebih karena terlalu banyaknya angka 9 dan 8 terlibat dalam berbagai peristiwa terkait dengan pemilihan umum 2009 ini. Lakon 98 ini telah memasuki babak akhirnya, yaitu pelantikan kabinet 2009-2014.

Keterlibatan angka 9 dan 8 ini bukannya datang tanpa alasan, tetapi ini sangat beralasan bagi sementara orang. ”Angka sembilan adalah angka keberuntungan saya”, demikian dikatakan Yudhoyono saat menjelaskan mengapa perlu diambil 9 langkah untuk menterjemahkan pemikiran-pemikiran Obama dalam kehidupan nyata. Pemikiran Obama itu disampaikan saat pertemuan G-20 di AS dan sembilan langkah yang disebut Yudhoyono itu disampaikan pada diskusi di Universitas Harvard, beberapa saat setelah pertemuan G-20 berakhir. Audiens yang terdiri dari dosen dan mahasiswa yang ikut diskusi tertawa kecil ketika Yudhoyono menyebut alasan mengapa langkah – langkah yang diambil jumlahnya 9: karena angka 9 adalah angka keberuntungannya. Mereka tertawa kecil karena menganggap hal angka keberuntungan itu sebagai joke, sendau-gurau Yudhoyono. Mungkin jika mereka tahu tanggal lahirnya Yudhoyono yang 9 September 1949 (9-9-1949) – dominasi angka 9 – bulé-bulé itu akan sedikit menunda tawa kecilnya. Bagi kita yang hidup di Indonesia dan melihat berbagai peristiwa politik dalam negeri yang sudah terjadi, pasti tidak akan serta merta terus tertawa, karena kita tahu bahwa Yudhoyono saat itu tidak sedang bercanda.

Bukanlah hal aneh sebagian orang meyakini ada angka keberuntungan atau angka kesialan. Orang Barat menganganggap angka 13 sebagai angka sial dan harus dihindari. Sedangkan di Jakarta, beberapa gedung pencakar langit tidak memiliki lantai 4, 14, 24, dan selanjutnya karena alasan sial. Di Jepang, kata untuk ”9” memiliki ucapan yang sama dengan kata ”menderita”. Banyak orang Jepang tidak mau tingal di kamar bernomor 9 jika menginap di hotel atau di rumah sakit. Tetapi angka 9 dalam lafal China sama dengan ”jiu”. Kata ”jiu” berarti selamanya, kekal atau abadi.[1] Jadi bagi sebagian masyarakat angka 9 itu dekat dengan hal menderita, sedangkan bagi sebagian masyarakat lain berarti hal yang menguntungkan, atau dalam bahasa Yudhoyono, angka sembilan adalah angka keberuntungan saya.

Ada juga yang mengatakan keunikan angka 9 itu jika dilihat pada penanggalan dimana tanggal 9 September itu adalah hari ke-252 dalam tahun. Jika tiga angka tersebut dijumlah (2+5+2) hasilnya adalah 9.[2]

Lalu dimana keunikan angka 8? Angka 8 adalah angka yang tidak ada putusnya. Angka 0 juga tidak ada putusnya, tetapi karena 0 maka menjadi tidak bermakna. Angka 8 yang tidak ada putusnya ini banyak dipersepsi sebagai angka yang tidak berhenti memberi peruntungan. Kadang dalam perkantoran ada gambar sekelompok kuda berlari, dan jika diperhatikan, jumlah kudanya selalu 8. Rejeki terus tidak berhenti, lanjutkan….

Babak Akhir

Babak akhir lakon 98 yaitu pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu II juga tidak lepas dari salah satu angka atau kedua angka, yaitu angka 9 dan 8. Amerika Serikat dengan segala kompleksitasnya hanya mempunyai 15 menteri dan 6 pejabat setingkat menteri. Tetapi Kabinet Bersatu II banyak yang mengatakan terlalu gemuk karena berjumlah 34 menteri. Meski banyak analisa jumlah itu adalah untuk mengakomodasi berbagai kelompok kepentingan dalam gerbong Yudhoyono, tetapi satu hal yang harus diperhatikan adalah keterkaitannya dengan angka 9. Mengapa 34? Karena jika 3+4 dijumlah adalah 7. Kemudian ini ditambah dengan Wakil Presiden, Boediono (atau JK, dulu) dan Presiden sendiri, maka jumlahnya menjadi 7+1+1=9. Kita bertemu lagi dengan angka 9.

Rencana seleksi menteri akan dipentaskan pada tanggal 17, 18, 19 Oktober 2009. Kalau kita jumlah semua tanggal itu, yaitu 17+18+19=54, terus 5+4=9. Angka sembilan lagi. Atau dihitung 1+7+1+8+1+9=27, terus 2+7=9. Atau cara lain (17+10+2009) + (18+10+2009) + (19+10+2009) = 6111, terus 6+1+1+1=9. Atau cara lain lagi, semua angka pada tanggal, bulan dan tahun dijumlah maka akan ketemu 63, terus 6+3=9.

Ternyata dalam pelaksanaan, seleksi menteri adalah sampai tanggal 21 Oktober 2009. Angka 9 sudah ditinggalkan? Dengan dilaksanaknnya seleksi menteri sampai 21 Oktober, maka itu berarti seleksi menteri dilaksanakan pada tanggal-tanggal 17, 18, 19, 20, 21 Oktober. Jika kita jumlah tanggal-tanggal itu, maka 17+18+19+20+21=95, terus 9+5=14 dan 1+4=5. Tidak ketemu angka 9?

Terkait dengan di atas maka kita bisa mengerti mengapa pada awal Presiden mengumumkan kabinetnya, Presiden mengritik sebagian media televisi yang terlalu banyak nyinyir soal maju-mundur, molor-nya pengumuman kabinet. Tepat pukul 22.00 kabinet diumumkan, dan ketepatan itu untuk membungkam beberapa media yang sudah terlanjur nyinyir itu. Tetapi mengapa harus jam 22.00 dan harus tepat? Mungkin kita bisa berspekulasi macam-macam, tapi yang pasti dalam alur Lakon 98 hal itu adalah untuk menggenapi angka 9. Coba kita teruskan hitungan yang semua tanggal seleksi sampai 21 Oktober adalah berjumlah 95. Angka 95 ini kita jumlah dengan jam pengumuman hasil seleksi, yaitu jam 22.00 maka akan ketemu : 95+22+00=117 terus 1+1+7=9. Ketemu angka 9.

Atau semua angka pada tanggal dan jam kita jumlah, (1+7+1+8+1+9+2+0+2+1) + (2+2+0+0) = 36, terus 3+6=9. Jadi mengapa Presiden tepat mengumumkan hasil seleksi menteri pada jam 22.00, ya karena ia ingin mengunci proses seleksi ini pada angka 9. Itu saja. Molor 1 menit maka hitungan akan berubah, dan mungkin akan diyakini pula peruntungan akan menjauh.

Dengan perhitungan yang sama pula kita bisa memahami babak akhir yaitu pembentukan kabinet juga tidak lepas dari hitungan ini. Seleksi mentri yang dimulai sejak 17 Oktober 2009 itu ditutup dengan pelantikan mentri pada tanggal 22 Oktober 2009. Dihitung dengan gaya hitungan seperti di atas maka itu juga akan ketemu angka 9.

Babak sebelumnya dan akhir kata

Babak-babak sebelumnya dalam Lakon 98 ini banyak bisa dilihat dalam babak pemilihan legislatif yang penuh dangan angka 9 dan pemilihan presiden yang penuh dengan angka 8. Misalnya mengenai pemilihan Boediono sebagai wakil presiden. Kalau Yudhoyono tanggal lahirnya ada angka dominan, yaitu angka 9 maka jika kita milihat tanggal lahir Boediono yang 25 Februari 1943 maka tidak ada angka yang dominan yang muncul lebih dari 2 kali. Tetapi jika semua angka dijumlah (tanggal lahir Boediono: 25-2-1943), yaitu 2+5+2+1+9+4+3= 26, terus 2+6=8. Atau 25+2+1943=1970, terus 1+9+7+0=17 lalu 1+7=8. Jadi di mata Tim Sukses Yudhoyono, Boediono itu ”nggendong” angka 8, lanjutkan, angka yang diperlukan oleh Yudhoyono untuk melanjutkan kekuasaannya. Selengkapnya dan detailnya tentang hal ini, lihat LikWan dan juga di www.pergerakankebangsaan.org

Kita berharap bahwa pelantikan menteri 22 Oktober 2009 ini tidak seperti kejadian saat Rapimnas II Partai Demokrat, yang seperti diberitakan Kompas 27 April 2009 jumlah tepuk tangannya dilatih dulu sehingga jumlahnya pas menjadi 45 kali membahana dan Yudhoyono, Ketua Dewan Pembinanya berpidato selama 45 menit. Semua itu, 4+5 adalah angka 9.

Yudhoyono sebenarnya tidak sendirian dalam hal ini, Paling tidak Ronald Reagen dan istrinya, Nancy Reagen sering diberitakan luas suka mengunjungi para normal untuk menentukan hari baik dan mengetahui hari sial atau yang mirip-mirip dengan itu. Hanya saja yang perlu juga kita ingat pada diri Reagen ini, dia adalah salah satu aktor penting yang menjadikan neoliberalisme menjadi ideologi dominan global, isme yang mau mengatur segala segi hidup bersama dengan logika pasar bebas, isme yang bagi yang kaya dan big bussines adalah rahmat tetapi bagi yang miskin, kecil dan marjinal adalah malapetaka ….***

De-gotong-royongisasi



De-gotong-royongisasi?

“Rasa harmoni menurut saya merupakan ciri paling khas dari psikologi Asia,” demikian Tho Thi Anh menulis dalam Eastern And Western Cultual Values (1974) yang telah diterjemahkan dengan judul Nilai Budaya Timur dan Barat, Konflik atau Harmoni?[1] Mengutip Denis de Rougemnt, Tho Thi Anh terhadap masyarakat Barat menuliskan: “Masyarakat Barat,” tulis Denis de Rougemnt, “telah menghasilkan antara lain dua kenyataan paling spesifik: persona dan mesin.”[2] Dua puluh empat tahun kemudian (1998), Pierre Bourdieu terkait dengan merebaknya neoliberalisme sebagai paham dominan global menuliskan: “What is neoliberalism? A programme for destroying collective structure which may impede the pure market logic.”[3]

Mengapa tiga pendapat di atas dituliskan secara bersamaan? Karena pada pendapat-pendapat itulah sebenarnya kita dihadapkan pada permasalahan kongkret dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pada ketiga pendapat itulah kita bisa melihat ’wajah janus’[4] dari pelaksanaan rejim neoliberalisme di Indonesia yang sampai saat ini digawangi oleh SBY (Sri Mulyani, Boediono, Yudhoyono).

Terhadap bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, Yudhoyono sangat paham tentang psikologi Asia ini, atau khususnya psikologi rakyat Indonesia, yang seperti disebut Tho Thi Anh sebagai rasa harmoni. Personifikasi yang dibangun sebagai sosok diri yang tertib, yang tidak mau terlibat konflik atau menjauh dari konflik adalah dimaksudkan nantinya, Yudhoyono dapat menjadi sosok yang ”diidam-idamkan” masyarakat yang memang mempunyai dasar psikologi harmoni itu. Yang khas lagi dalam masyarakat Indonesia kontemporer mungkin bisa ditambahkan dengan yang disebut oleh Sukardi Rinakit sebagai masyarakat melodramatik. Dan sekali lagi, Yudhoyono juga sangat paham tentang hal ini, maka yang mucul adalah gabungan antara sosok yang harmonis dengan yang melodramatik. Kapan ini akan lebih ditonjolkan atau muncul secara bersama-sama, tentu konsultan-konsultan politik di sekitar Presiden selalu akan memberikan masukan-masukannya.

Tetapi bagaimana saat melaksanakan kekuasaan? Pada titik inilah agenda-agenda neoliberalisme, liberalisasi, privatisasi dan deregulasi dilaksanakan SBY sesuai dengan text book-nya. Dan seperti yang disebut oleh Pierre Bourdieu di atas, neoliberalisme adalah sebuah program yang akan menghancurkan struktur kolektif yang menghalangi pelaksanaan logika pasar di semua bidang kehidupan, maka kekuasaan-pun dilaksanakan dengan prinsip-prinsip seperti itu, dan itu dalam praktek mewujud dalam proseduralisme (lihat posting sebelumnya, Proseduralisme dan Strategi-nya Mereka).

Rasa harmoni sebagai yang hidup dalam kultur sehari-hari masyarakat Indonesia perlahan digeser hanya sebagai harmoni dalam dunia prosedur-prosedur, dan ini tidak hanya berhenti dalam menggeser, tapi rasa harmoni di luar prosedur adalah menjadi tidak pada tempatnya. Dalam hidup demokrasi, opini publik digantikan dengan angka dan grafik naik-turun persis seperti grafik naik dan turunnya harga saham di lantai bursa perdagangan saham. Demokrasi hanya berarti prosedur untuk memilih elit yang berkuasa, dan itu adalah poliarki. Celakanya lagi, proses ’demokrasi’ yang terjadi sejak awal sudah dibajak oleh oligarki dan pemburu rente yang sudah bersembunyi aman di tubuh masing-masing partai politik. Demokrasi otentik sebagai kekuatan yang sudah melekat dalam kolektifitas komunitas perlahan digeser dan dimatikan atas nama prosedur demokrasi.

Kita menjadi semakin paham terhadap kebijakan Presiden Yudhoyono yang tetap mempertahankan Kementrian Budaya menjadi satu dengan Pariwisata dan kemudian menggesernya menjadi di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Pembelaan negara atas kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat-pun dibuat dengan sadar untuk di-subordinat-kan pada kepentingan ekonomi, di bawah logika pasar neoliberalisme.

Maka yang terjadi adalah perlahan muncul semacam budaya anomie, di mana nilai-nilai yang sudah lama berakar, yaitu nilai harmoni tetap dipertahankan tetapi hanya sebagai alat pelanggengan kekuasaan sehingga perlahan ini juga akan menjadi tercabut dari akar, di lain pihak paham neoliberalisme yang berkeyakinan bahwa setiap warga negara adalah swasta, setiap warga negara adalah privat yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan untuk itu harus bersaing satu sama lain (sehingga, seperti kata Pierre Bourdieu, struktur kolektif yang menghambat mesti dihancurkan) belum sepenuhnya diterima karena pada dasarnya masyarakat masih terstruktur dengan nilai-nilai harmoni. Bagi pengusung neoliberalisme di Indonesia, proseduralisme dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ini.

Cobalah kita lihat bersama berita Kompas, Jum’at 12 Februari 2010, halaman 24 yang berjudul: ”Bertengkar, Anak SD Diadili.” Seorang bapak yang anaknya bertengkar dengan anak lain, dan anaknya luka di kepala ujungnya adalah ada seorang anak yang harus duduk di kursi pengadilan. Yang kita kawatirkan terhadap berita ini adalah, apakah ini merupakan tanda-tanda proyek SBY dalam menghancurkan struktur kolektif bangsa telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya? Atau keberhasilan proyek SBY ini merupakan titik puncak dari apa yang sudah dimulai sejak era Orde Baru yang lalu? Sebagai puncak ataupun merupakan keberhasilan yang berdiri sendiri tetaplah sama akibatnya bagi Rakyat Indonesia, yaitu rakyat kebanyakan semakin jauh dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

RRC sebenarnya adalah contoh kongkret bagaimana nilai harmoni ini dapat dikembangkan menjadi kekuatan sehingga rakyat China mampu bersaing dalam tata ekonomi global. Demikian juga Jepang dalam fase-fase awal industrialisasinya. Mengapa kita tidak menjadikan gotong-royong sebagai alas dalam mengembangkan bangsa Indonesia sehingga mampu bersaing dalam tata dunia global? Jika ini dicari dalam text-book-nya neoliberalisme pastilah kita tidak akan menemukannya, maka carilah dalam kedalaman rakyat Indonesia sendiri! ***

Sebuah Ideologi Bangsa Yang mesti di Laksasnakan



Lebih Dari Sekedar “Homo Economicus”

“A Theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A theory about man enters his consciousness, determines his self-understanding, and modifies his very existence. The image of man affects the nature of man,”[1] demikian peringatan Abraham J. Heschel yang menegaskan bahwa pemahaman diri kita mengenai manusia akan mempengaruhi eksistensi kita sebagai manusia. Itu juga berarti bahwa mereduksi pemahaman manusia pada satu aspek saja akan menimbulkan berbagai permasalahan atau peristiwa yang justru akan menekan atau menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Pada titik inilah pergerakan melakukan perlawanan, perlawananan terhadap suatu rejim yang mendasarkan diri pada pemahaman manusia yang direduksi pada satu aspek saja, yaitu manusia sebagai homo economicus.

Neoliberalisme adalah paham yang dibangun dengan alas dasar pemahaman manusia seperti di atas, yaitu manusia dipandang terutama dan semata sebagai homo economicus. Karena pemahaman ini maka kemudian dibayangkan bahwa kemanusiaan yang utuh dan sejahtera itu akan tercapai jika semua diatur dalam logika pasar bebas, dan karena itulah maka negara yang baik adalah negara yang tidak ikut banyak campur tangan terhadap mekanisme pasar di semua bidang kehidupan ini.

Bagaimana ini semua dioperasionalkan? Mereka mengajukan 3 resep atau pilar sebagai instrumen utama untuk mengoperasionalkan paham ini, yaitu liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Maka perlawanan terhadap neoliberalisme ini bukanlah semata-mata perlawanan terhadap tata ekonomi yang ter-skema lebih berpihak pada kaum mapan atau pada bisnis besar saja, tetapi ini adalah lebih mendasar lagi, yaitu perlawanan sebagai pembelaan atas kemanusiaan yang utuh. Siapa itu manusia yang utuh?

Dalam dunia bunyi-bunyian Orde Baru sering kita dengar istilah pembangunan manusia seutuhnya tercantum dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Pencantuman ’pembangunan manusia seutuhnya’ ini dalam GBHN mengindikasikan negara mempunyai kewajiban untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang seutuhnya. Apakah negara bisa mewujudkan ini?

Jawabannya adalah jelas, tidak. Menjadi manusia seutuhnya itu tidak bisa hanya terkait dengan faktor-faktor di luar manusia saja, tetapi dinamika internal dalam diri manusia juga mempunyai pengaruh besar dalam upaya mencapainya. Jadi tekad negara Orde Baru mau membangun manusia Indonesia menjadi manusia yang seutuhnya itu sudah pasti gagal karena pada dirinya sudah mengingkari adanya dinamika internal setiap individu.

Kembali kepada pertanyaan, siapa manusia yang utuh itu? Manusia tidak bisa lepas dari relasinya dengan dunia di luarnya adalah fakta, baik relasinya dengan manusia lain, dan juga dengan alam sekitar. Tetapi manusia juga seorang individu yang di dalamnya berkembang mimpi, imaji-imaji dan juga ada potensi berupa bakat-bakat manusiawinya.

Maka adalah tepat sekali ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada situasi penjajahan, alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dituliskan: ”Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Penjajahan telah mengingkari dan menindas berkembangnya individu manusia yang mempunyai mimpi-mimpi, imaji-imaji dan potensi bakat-bakat manusiawinya, dan penjajahan juga telah menjadikan relasi antar manusia penuh dengan ketidak adilan dan penindasan.

Maka sebaiknya setiap penyelenggara negara Republik Indonesia, pemerintahan yang terpilih selalu membuka dan memahami betul-betul Pembukaan UUD 1945 ini, karena padanyalah cita-cita kemanusiaan bangsa Indonesia dituliskan. Atau kita sudah melupakan ini dan silau dengan gegap gempitanya homo economicus yang selalu didendangkan kaum neolib beserta antek-anteknya itu?

Sabtu, 23 Januari 2010


Ada Sebuah Impian yang selama ini menjadi sebuah harapan besar bagi Negara ini yaitu sebuah Keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Menjadi sebuah pertanyaan besar apakah Pemimpin bangsa ini mau untuk melakukannya.

Beberapa teman2 berfikir untuk membuat sebuah perubahan yang tidak terkait oleh intrik2 politik sang penguasa. Kami pernesia sekarang pernah melihat beberapa negara miskin yang lebih miskin dari indonesia, tetapi negara itu lebih maju dari Indonesia sekarang ini. Kami sempat berpikir sebenarnya apa yangterjadi terhadap mereka dan negara kita ini ? Ternyata permasalahan pokok yang terjadi adalah Mereka mempunyai rasa kebangsaan yang tinggi dan siap berkorban untuk bangsanya. Tetapi Kita disini keterbalikannya, yang manan rasa kebangsaan yang tinggi dihancurkan oleh kepentingan politik sesaat demi kepuasan perut dirinya dan kelompoknya, sehingga Indonesia sekarang terkatung2 dalam ideologi yang serba serbi.

Bangsaku yang ku sayangi dan kucintai, Masih banyak lagi anak bangsa yang mau melihat anak dan cucunya sejahtera dan makmur. Jangan Sia-siakan mereka>..