
Lebih Dari Sekedar “Homo Economicus”
“A Theory about the stars never becomes a part of the being of the stars. A theory about man enters his consciousness, determines his self-understanding, and modifies his very existence. The image of man affects the nature of man,”[1] demikian peringatan Abraham J. Heschel yang menegaskan bahwa pemahaman diri kita mengenai manusia akan mempengaruhi eksistensi kita sebagai manusia. Itu juga berarti bahwa mereduksi pemahaman manusia pada satu aspek saja akan menimbulkan berbagai permasalahan atau peristiwa yang justru akan menekan atau menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Pada titik inilah pergerakan melakukan perlawanan, perlawananan terhadap suatu rejim yang mendasarkan diri pada pemahaman manusia yang direduksi pada satu aspek saja, yaitu manusia sebagai homo economicus.
Neoliberalisme adalah paham yang dibangun dengan alas dasar pemahaman manusia seperti di atas, yaitu manusia dipandang terutama dan semata sebagai homo economicus. Karena pemahaman ini maka kemudian dibayangkan bahwa kemanusiaan yang utuh dan sejahtera itu akan tercapai jika semua diatur dalam logika pasar bebas, dan karena itulah maka negara yang baik adalah negara yang tidak ikut banyak campur tangan terhadap mekanisme pasar di semua bidang kehidupan ini.
Bagaimana ini semua dioperasionalkan? Mereka mengajukan 3 resep atau pilar sebagai instrumen utama untuk mengoperasionalkan paham ini, yaitu liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Maka perlawanan terhadap neoliberalisme ini bukanlah semata-mata perlawanan terhadap tata ekonomi yang ter-skema lebih berpihak pada kaum mapan atau pada bisnis besar saja, tetapi ini adalah lebih mendasar lagi, yaitu perlawanan sebagai pembelaan atas kemanusiaan yang utuh. Siapa itu manusia yang utuh?
Dalam dunia bunyi-bunyian Orde Baru sering kita dengar istilah pembangunan manusia seutuhnya tercantum dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Pencantuman ’pembangunan manusia seutuhnya’ ini dalam GBHN mengindikasikan negara mempunyai kewajiban untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang seutuhnya. Apakah negara bisa mewujudkan ini?
Jawabannya adalah jelas, tidak. Menjadi manusia seutuhnya itu tidak bisa hanya terkait dengan faktor-faktor di luar manusia saja, tetapi dinamika internal dalam diri manusia juga mempunyai pengaruh besar dalam upaya mencapainya. Jadi tekad negara Orde Baru mau membangun manusia Indonesia menjadi manusia yang seutuhnya itu sudah pasti gagal karena pada dirinya sudah mengingkari adanya dinamika internal setiap individu.
Kembali kepada pertanyaan, siapa manusia yang utuh itu? Manusia tidak bisa lepas dari relasinya dengan dunia di luarnya adalah fakta, baik relasinya dengan manusia lain, dan juga dengan alam sekitar. Tetapi manusia juga seorang individu yang di dalamnya berkembang mimpi, imaji-imaji dan juga ada potensi berupa bakat-bakat manusiawinya.
Maka adalah tepat sekali ketika bangsa Indonesia dihadapkan pada situasi penjajahan, alinea pertama Pembukaan UUD 1945 dituliskan: ”Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Penjajahan telah mengingkari dan menindas berkembangnya individu manusia yang mempunyai mimpi-mimpi, imaji-imaji dan potensi bakat-bakat manusiawinya, dan penjajahan juga telah menjadikan relasi antar manusia penuh dengan ketidak adilan dan penindasan.
Maka sebaiknya setiap penyelenggara negara Republik Indonesia, pemerintahan yang terpilih selalu membuka dan memahami betul-betul Pembukaan UUD 1945 ini, karena padanyalah cita-cita kemanusiaan bangsa Indonesia dituliskan. Atau kita sudah melupakan ini dan silau dengan gegap gempitanya homo economicus yang selalu didendangkan kaum neolib beserta antek-anteknya itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar