
Maka Demikianlah Kesusastraan itu …
Oleh: Mario Vargas Llosa
Sering terjadi, di pameran buku atau di toko buku, seorang bapak-bapak mendekati saya dan meminta tanda tangan. “Ini untuk istri saya. Ini untuk anak perempuan saya atau ini untuk ibu saya. Mereka pecinta buku dan peminat sastra,” begitu kata mereka seraya menyodorkan bukunya. saya pun bertanya, ”Bagaimana dengan Bapak sendiri? Apakah Bapak suka membaca juga?” Mereka biasanya menjawab demikian, ”Tentu saja saya suka membaca. tetapi apa boleh buat, saya terlalu sibuk untuk itu.”
…Sebuah survei yang dilakukan oleh Perkumpulan Penulis Spanyol menyatakan bahwa separuh dari penduduk Spanyol tidak pernah membaca buku …Saya prihatin bukan hanya karena mereka tidak bisa ikut menikmati keasyikan membaca sastra, tetapi karena saya yakin bahwa suatu masyarakat tanpa karya sastra ataupun orang-orang yang menyingkirkan sastra dalam hidupnya yang diam-diam menganggap sastra sebagai keburukan yang tersembunyi – akan mempunyai spiritualitas barbar yang membahayakan kemerdekaannya sendiri.
Saya bermaksud memberikan beberapa alasan untuk melawan anggapan seolah sastra merupakan pengisi waktu luang yang mewah, untuk membela bahwa sastra sesungguhnya merupakan olah batin yang menggairahkan dan memperkaya, aktivitas yang tak tergantikan untuk pembentukan warga negara supaya menjadi individu yang bebas dalam masyarakat modern dan demokratis. Sastra seharusnya sudah ditanamkan dalam keluarga sejak masa kanak-kanak dan dimasukkan dalam semua program pendidikan sebagai disiplin dasar. Tapi sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Sastra semakin tidak mempunyai tempat di dunia pendidikan bahkan sudah tidak lagi ada dalam kurikulum pendidikan.
Kita hidup dalam era spesialisasi ilmu pengetahuan, berkat perkembangan ilmu dan teknologi yang luar biasa pesatnya. Perkembangan itu telah berhasil membuat ilmu pengetahuan terpecah-pecah ke dalam bidang-bidang yang tak terkira banyaknya. ampaknya kecenderungan kultural ini akan semakin menonjol di tahun-tahun yang akan datang.
Tak dapat dipungkiri, spesialisasi membawa banyak keuntungan, sebab memungkinkan dilakukannya eksplorasi yang lebih mendalam dan berbagai percobaan yang lebih khusus terhadap suatu obyek. spesialisasi merupakan mesin kemajuan suatu ilmu. Tetapi spesialisasi juga mengandung beberapa konsekuensi negatif, karena menghilangkan beberapa unsur kultural yang umum, yang menentukan dan memungkinkan manusia hidup berdampingan, berkomunikasi, dan merasakan solidaritas. Spesialisasi menyebabkan berkurangnya komunikasi sosial, memisahkan manusia dalam kesempitan budaya para teknisi dan para spesialis.
Terspesialisasinya bahasa, kode-kode, dan informasi makin lama makin membuat manusia menjadi khusus dan terpisah. Hal tersebut bertentangan dengan pepatah tua yang apat menjadi peringatan bagi kita, ”Jangan terlalu memusatkan perhatian pada dahan pohon atau daunnya, karena kamu dapat melupakan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah pohon, dan bahwa pohon adalah bagian sebuah hutan.” Kesadaran akan adanya hutan akan menciptakan perasaan memiliki yang mengikat suatu masyarakat dalam kebersamaan dan menghindarkannya dari keterpecahan dalam kelompok-kelompok solipsistik.
Solipsisme warga negara atau seseorang dapat menyebabkan paranoia, kegilaan, distorsi kenyataan yang menimbulkan kebencian, perang, dan genosida. Pada masa ini, ilmu dan teknologi tidak dapat memainkan peran secara integral. Hal ini disebabkan karena terbatasnya kekayaan pengetahuan dan kecepatan evolusinya yang menyebabkan spesialisas dan penggunaan kosakata yang tidak jelas.
Kesusastraan sebaliknya, sudah dan terus akan menjadi tanda kebersamaan dari pengalaman manusiawi; manusia mengenali dirinya melalui sastra. Misalkan kita membaca Cervantes, Shakespeare, Dante, atau tolstoy, kita akan saling memahami dan merasa sebagai bagian dari spesies yang sama. kita belajar berbagi bersama, mencoba memahami apa yang tetap sama dalam diri kita kendati perbedaan-perbedaan yang luas memisahkan kita.
Tidak ada yang lebih baik yang bisa melindungi manusia dari kebodohan prasangka buruk, rasialisme, ketakutan pada xenophobia, sektarianisme agama dan politik, juga nasionalisme yang eksklusif daripada sastra. membaca karya sastra yang baik itu menyenangkan, di samping itu kita juga mendapat pengalaman melalui angan-angan tentang apa dan bagaimana kita, dalam integrias kemanusiaan, dengan tindakan kita, mimpi-mimpi, hantu, dalam kesendirian, dan dalam hubungan kita dengan orang lan, dalam kesan umum masyarakat, dan dalam kerahasiaan ceruk kesadaran kita. Seluruh kumpulan kebenaran kontradiktif yang komplek ini – sebagaimana disebut oleh Isaiah Berlin – merupakan struktur alami kondisi manusia. dalam dunia sekarang, seluruh pengetahuan yang hidup dan menyeluruh mengenai manusia hanya didapatkan dalam sastra.
Marcel Proust mengamati bahwa hidup nyata, yang diterangi dan diwahyukan, dan yang dihidupi dengan sungguh-sungguh adalah karya sastra. Karena kecintaan pada panggilan yang ia hayati dengan kesungguhan, kata-kata ini tidak berlebihan – ia hanya ingin menegaskan bahwa hidup dapat dipahami dan dijalani dengan lebih baik berkat sastra. dengan demikian pemahaman akan hidup akan lebih penuh dan dapat dibagikan kepada orang lain.
Sastra adalah hasil karya manusia dan karena itulah kita layak bertanya tentang latar belakang asal-usulnya; bagaimana dan mengapa sastra diciptakan, bagaimana sastra telah menyumbang pembentukan humanitas, dan bagaimana sastra yang asal-usulnya bersinggungan dengan asal-usul tulisan, tetap bertahan hingga sekarang.
Salah satu dampak sastra yang menguntungkan adalah penggunaan bahasa. Sebuah komunitas tanpa karya sastra tertulis akan mengekspresikan diri secara kurang tepat, kurang kaya nuansa dan kejernihannya, daripada masyarakat yang mempunyai sarana komunikasi utama berupa kata yang telah diolah dan disempurnakan.
Seseorang yang tidak membaca atau hanya membaca sedikit memang dapat berbicaa banyak tetapi penampilannya sangat miskin an perbendaharaan katanya kurang untuk dapat menyatakan diri secukupnya. Hal ini bukan hanya soal keterbatasan komunikasi verbal, tetapi menyangkut keterbatasan intelektualitas dan imajinasi.
Ini adalah kemiskinan pemikiran dan pengetahuan karena ide dan konsep yang kita gunakan untuk menangkap fakta dan kondisi tersembunyi kita, tidak dapat diasosiasikan dalam kata-kata. Sastra tidak saja diperlukan untuk kepenuhan pengetahuan dan penggunaan bahasa, tetapi nasibnya juga terikat erat secara tak terpisahkan dengan buku, sebagai hasil industri yang sering dianggap kuno.
Bill Gates, pendiri Microsoft, beberapa waktu yang lalu sewaktu berada di Madrid berkunjung ke Royal Spanish Academy. Microsoft telah membangun banyak kerjasama dengannya untuk mendirikan yayasan-yayasan. Dalam salah satu pembicaraannnya, Gates memastikan bahwa secara pribadi dia akan menjamin bahwa huruf ň tidak akan dihilangkan dari komputer, sebuah janji yang mebuat 400 juta pengguna bahasa Spanyol dari lima benua bernapas lega, karena penghilangan huruf itu dari dunia maya (cyberspace) akan meyebabkan problem besar.
Sesudah membuat konsensi yang melegakan tentang bahasa Spanyol itu, Gates, masih dalam pembicaraan dengan Royal Academy, menyampaikan dalam jumpa pers bahwa ia ingin menunaikan dulu tujuan tertinggi dalam hidupnya sebelum ia mati, yaitu menyudahi penggunaan kertas dan kemudian buku. Gates menerangkan bahwa layar komputer dapat menggantikan kertas dalam segala fungsinya. Dia meyakinkan bahwa komputer memberikan lebih banyak manfaat; komputer hanya memerlukan tempat yang lebih sedikit dan lebih mudah dipindahkan. Sedangkan tentang berita dan sastra yang disebarkan surat kabar dan buku tanpa kertas, menurutnya akan memberikan keuntungan ekologis yaitu menghentikan perusakan hutan. Orang masih akan terus membaca tetapi pada layar komputer, dan konsekuensinya adalah bumi ini akan lebih hijau.
Saya tidak hadir ketika Gates membicarakan hal itu, tetapi saya mengikutinya melalui laporan pers. Seandainya saya ada di sana saya akan mengolok Gates yang tanpa malu mempunyai maksud untuk membuat saya dan semua kolega saya, para penulis buku, menjadi penganggur. Saya sama sekali tidak dapat menerima idenya bahwa kegiatan ”membaca” yang tidak hanya pragmatis, tidak hanya mencari informasi, atau sekedar berkomunikasi dengan cepat dan luas, dapat diintegrasikan dalam layar komputer hingga si pembaca dapat mengalami mimpi-mimpi dan kenikmatan sensasi keintiman yang sama, tingkat konsentrasi dari kesunyian rohani yang sama, yang mungkin diperolehnya ketika ia membaca sebuah buku.
Mungkin ini merupakan prasangka saya, yang tidak banyak berkutat dengan komputer, dan karena kedekatan dengan sastra yang telah lama saya alami, begitu juga dengan buku-buku dan kertas. Meskipun saya juga menikmati surfing di web untuk mencari berbagai informasi dunia, namun saya tidak akan menggunakan layar monitor komputer untuk membaca puisi Gongora, novel Onetti atau esai Octaviano Paz. Mengenai hal ini saya yakin, karena kenikmatannya sama sekali berbeda ketika membacanya dari buku. Saya yakin, dunia sastra akan mengalami bencana yang serius bahkan mematikan, apabila buku ditiadakan.
Alasan lain yang meneguhkan sastra menjadi penting dalam kehidupan sebuah bangsa adalah bahwa tanpa sastra, pemikiran yang kritis sebagai mesin perubahan sejarah dan pelindung kebebasan yang paling baik akan mengalami kehilangan yang tak dapat dipulihkan. Hal ini disebabkan karena karya sastra yang baik akan selalu memberikan pertanyaan yang radikal mengenai dunia tempat kita hidup. Semua karya sastra besar mempunyai kecenderungan untuk menggelitik pembacanya, sering tanpa maksud si penulis. Sebuah karya sastra memang tidak akan bermakna bagi mereka-mereka yang sudah merasa mapan dengan kehidupannya.
Sastra adalah makanan untuk semangat pemberontakan, penyebar luas ketidak-cocokan, dan perlindungan bagi mereka yang mengalami kelimpahan atau kekurangan dalam hidup… Sastra, tentu saja hanya menenangkan sementara saja berbagai ketidakpuasan vital ini. Selama waktu yang istimewa ini, ketika kita menunda sementara hidup kita, ilusi sastra mengangkat dan membawa kita meloncat ke luar dari waktu dan sejarah, kemudian kita menjadi warga negara pulau keabadian. Kita menjadi merasa lebih hebat, lebih kaya, lebih kompleks, lebih bahagia, merasa lebih berorientasi daripada ketika kita berada dalam rutinitas hidup yang menyesakkan.
Membaca sastra juga membolehkan kita hidup dalam dunia dengan peraturan yang melampaui hukum-hukum kaku yang selama ini membelenggu kehidupan yang nyata. Untuk sementara, kita akan terbebas dari penjara waktu dan ruang dalam dunia di mana perbuatan yang keterlaluan tidak dihukum dan kita menikmati kekuatan yang tak terbatas.
Mungkin, lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan untuk menopang kontinyuitas budaya dan memperkaya bahasa, kontribusi sastra yang paling besar untuk kemajuan manusia adalah memberi kita peringatan (dalam banyak kasus tanpa sengaja) bahwa dunia ini dibuat begitu jelek; bahwa banyak orang, seperti para penguasa hanya bermulut manis; dan bahwa dunia dapat menjadi lebih baik, seperti dunia yang kita ciptakan lewat imajinasi dan bahasa. Suatu masyarakat yang bebas dan demokratis harus mempunyai warga negara yang bertanggung jawab dan kritis dan selalu sadar untuk menguji dunia tempat hidupnya. Bacaan yang baik dapat mengantar pada pembentukan warga negara yang kritis dan bebas, yang tidak mau dimanipulasi tetapi berkemauan untuk diperkaya dengan mobilitas rohani yang permanen dan imajinasi yang dinamis.
Sastra, meski hanya memenuhi ketidakpuasan manusia untuk sementara saja, dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kepekaan kritis dan perlawanan terhadap hidup. Dengan mengembangkan hal tersebut dapat membuat seseorang lebih mudah menerima kenyataan hidup yang tidak membahagiakan. Hidup dalam ketidakpuasan, berperang melawan eksistensi, merupakan pencarian hal-hal yang absurd, yang mengharuskan diri berperang seperti Kolonel Aureliano Buendia dalam A Hundred Years of Solutide yang memahami betul bahwa ia akan kalah. Akan tetapi tanpa ketidakpuasan dan pemberontakan melawan kesempitan dan kepelikan hidup, kita hanya akan tinggal dalam dunia primitif, dan sejarah akan berhenti.
Ketika novel Don Quixote de la Mancha pertama kali terbit, pembaca menertawakan si pemimpi yang eksentrik ini dan pelaku-pelaku lain dalam novel. Kini kita tahu bahwa keyakinannya (Don Quixote) melihat kincir angin sebagai raksasa, dan ajakannya untuk bertindak yang tampaknya absurd, ternyata merupakan kedermawanan yang paling tingi, sebagai alat protes karena adanya kesengsaraan dunia dalam harapan untuk mengubahnya.
Penemuan-penemuan dari semua penulis sastra yang besar, memindahkan kita dari penjara realitas dan membawa kita meloncat ke dalam dunia fantasi, membuka mata kita terhadap rahasia dan aspek-aspek gelap kemanusiaan kita.
…Telah sering dikatakan bahwa sebuah gambar dapat bermakna ribuan kata. Perkembangan media audiovisual yang begitu hebat pada abad ini, pada satu sisi telah merevolusi komunikasi dengan menjadikan setiap orang di atas planet ini berpartisipasi dalam kejadian yang sedang berlangsung.
Di sisi lain, perkembangan ini juga cenderung mencaplok waktu yang dapat digunakan manusia untuk bersantai dan menghibur diri dengan membaca buku sastra. Karena itulah perkembangan ini justru menjauhkan mereka dari sastra. Perkembangan ini memungkinkan kita memahami sebuah kemungkinan skenario sejarah untuk masa depan yang dekat, sebuah masyarakat modern, penuh dengan komputer, layar monitor dan pengeras suara, dan tanpa buku. Saya kawatir bahwa dunia cyber ini, di samping kemakmuran dan kekuatannya, juga standard hidupnya yang tinggi dan pencapaian kemajuan ilmu pengetahuannya, di sisi lain akan membuat masyarakat menjadi sangat tidak beradab, lesu, tanpa jiwa – meletakkan kemanusiaan dalam robot-robot yang melepaskan kemerdekaan.
Namun sejarah belum ditulis, dan syukurlah, tidak ada penentuan nasib yang telah diputuskan untuk kita. Seluruhnya tergantung pada visi kita yang akan menentukan apakah utopia yang mengerikan itu akan menjadi kenyataan atau tidak. Jikalau kita tidak ingin kehilangan sastra dan menjaga sumber-sumber kekuatan yang memotivasi imajinasi dan ketidak puasan, yang memperhalus kepekaan kita dan mengajarkan kita berbicara dengan fasih dan kuat, kita harus bertindak secara cerdas. kita harus membaca buku-buku yang baik, merangsang dan mengajarkan generasi masa depan bagaimana membaca – dalam keluarga, dalam kelas, di media, dan di semua wilayah komunal sebagai tugas penting yang meliputi dan memperkaya semuanya. ***
(Karangan ini merupakan ringkasan dari pidato Mario Vargas Llosa ketika diangkat menjadi kepala Jurusan Sastra dan kebudayaan Ibero-Amerika, Departemen Spanyol-Portugis, Universitas Georgetown. Dimuat dalam Georgetown Magazine, Summer 2001. Mario Vargas Llosa adalah seorang pengarang, cendekiawan dan aktivis politik dari Peru. Pidato tersebut berbahasa Spanyol, diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Serefina Hager. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Purnawijayanti. Dimuat di BASIS, No. 09-10, Tahun ke 52, Sept-Okt 2003. Diketik ulang
Tiga Cerita
( I )
Pada satu kesempatan dalam pelatihan penelitian bagi peneliti muda, seorang professor dengan spesialisasi kesehatan anak dari University of Amsterdam Belanda mengungkapkan satu pengalamannya ketika terlibat dalam kegiatan pemberian suplemen Fe (zat besi) bagi anak-anak Afrika yang banyak mengalami kondisi anemia atau kadar haemoglobin darahnya di bawah normal. Biasanya anak-anak Afrika yang mengalami anemia ini juga mengalami kurang gizi dan rentan terhadap infeksi, baik akut maupun kronik.
Kejadian yang diungkap oleh profesor itu adalah sehabis pemberian Fe atau zat besi itu justru banyak kejadian anak-anak yang menerima suplementarisasi Fe ini malah meninggal. Memamg belum dilakukan penelitian yang mendalam mengenai kejadian ini tetapi profesor itu mengajukan hipotesis bahwa kematian anak-anak setelah pemberian Fe itu justru disebabkan Fe atau zar besi yang mana Fe atau zat besi itu juga adalah makanan bagi bakteri sehingga bakteri-bakteri yang mengakibatkan adanya infeksi kronik pada anak-anak itu justru mendapatkan makananannya dan ”bangun” dari ”setengah tidurnya” kemudian berkembang menjadi infeksi yang akut dan akhirnya anak meninggal dunia. Perbaikan kadar haemoglobin untuk memperbaiki kondisi anemia ternyata kalah cepat dari perkembangan bakteri yang mendapatkan makanannya dari Fe atau zat besi, yang mana sebenarnya zat besi ini adalah diperuntukkan sebagai bahan dasar bagi pembentukan haemoglobin anak. [1]
( II )
Pada tahun 1839 Gubernur Jenderal Usmani untuk Mesir, Mohammad Ali Pasya yang terkenal itu, sudah tiga puluh dua tahun sibuk memperlengkapi diri dengan persenjataan tepat guna yang mengikuti contoh Barat di masa itu. Kegagalan ekspedisi Napoleon ke Mesir telah membuka mata Mohamad Ali, betapa pentingnya suatu angkatan laut yang tangguh. Ia telah bertekad untuk membangun armada yang terdiri dari kapal-kapal perang sejenis yang dimiliki Barat di masa itu. Ia sadar bahwa ia tidak akan mandiri di bahari selama ia tidak mampu membangun kapal-kapal perang Mesir di galangan-galangan kapal Mesir oleh kaum pekerja Mesir. Ia menyadari pula, bahwa ia tidak dapat melengkapi diri dengan staf teknik armada Mesir memperkerjakan insinyur-insinyur perkapalan dan ahli-ahli barat lain demi pendidikan para siswa Mesir. Maka diikhtiarkan oleh Mohamad Ali pemanggilan ahli-ahli Barat. Dan tertariklah calon-calon dari Barat yang memenuhi syarat untuk melamar pekerjaan di Mesir itu karena skala gaji yang ditawarkan Pasya itu memang menarik. Namon toh para pelamar Barat itu tidak bersedia menandatangani kontrak bila belum ada kepastian tentang kemungkinan memindahkan keluarga mereka ke Mesir; dan mereka tak bersedia memindahkan keluarga mereka tanpa kepastian jaminan yang cukup mengenai pemeliharaan kesehatan mereka menurut taraf pertolongan kesehatan berukuran Barat di waktu itu.
Begitulah Mohamad Ali mengalami, bahwa ia tidak dapat memperkerjakan para ahli bahari dari Barat yang sangat ia perlukan itu tanpa mengkaryakan tabib-tabib Barat untuk merawat para istri dan anak-anak dari para ahli bahari tersebut. dan karena ia telah berkemauan keras untuk membangun armada Mesir, maka tabib-tabib itu pun ia karyakan. Para dokter serta para ahli dengan keluarganya datang bersama-sama dari Barat; para ahli membangun arsenal secara yang seharusnya, sedangkan para dokter merawat dengan baik para istri dan anak-anak dari pemukiman Barat di Iskandaria itu.
Tetapi seusai para dokter itu bertugas terhadap para asisten Barat, ternyatalah mereka masih punya waktu berlebih … dan karena mereka dokter-dokter yang penuh energi dan bercita rasa sosial, mereka memutuskan untuk berbuat sesuatu juga demi penduduk Mesir setempat. Mulai dengan apa? Perawatan wanita yang bersalinlah yang jelas paling diperlukan. Demikianlah kemudian timbul suatu pelayanan untuk yang bersalin di dalam daerah-daerah tertutup arsenal angkatan laut itu yang disebaban oleh suatu rentetan peristiwa yang seperti Anda akui, tidak dapat dihindari itu.
Di kala itu seorang dokter Barat tidak diperkenankan mendekati pasien wanita lebih dari sekedar meraba tangan untuk memeriksa denyut nadi yang dijulurkan oleh pasien wanita dari balik tirai. Padahal sekarang setelah arsenal-arsenal dibangun oleh Pasya, para wanita tanpa malu-malu memberanikan diri masuk dalam ruangan tertutup sebuah arsenal kaum asing untuk memanfaatkan jasa-jasa para ahli kebidanan Barat.
Moral peristiwa ini ialah, betapa cepat dalam pertukaran kebudayaan yang satu membawa yang lain, dan betapa revolusioner pengaruh proses seperti itu.[2]
( III )
Ilham. Ilham itu harus dicari. Jangan ditunggu dia datang sendiri. Ilham itu harus dikejar, diperas, diburu dan dipeluk.
Dengan modal intelektualitas yang cukup yang dilambari emosi yang menyala-nyala dalam memburunya, maka ilham yang kita peroleh akan cukup memiliki dimensi kedalaman.
Sejalan dengan itu, perlukah kita membaca? Tentu saja. Membaca, membaca dan teruslah membaca. Terserah apa itu buku, majalah, alam, masyarakat dan … manusia. Aku membaca bukan hanya untuk tahu. Aku juga ingin bahwa apa yang kubaca itu ikut membentuk sebagian dari pandanganku. Karena itu aku mencerna, memeras dengan modal intelektualitas dan kepribadianku yang sudah ada, agar dengan demikian kepribadianku menjadi lebih kaya dengan intelektualitas yang tersedia dan dalam pergulatannya dengan situasi. Memang aku dahaga. dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikkan.
Apa Yang Ada Di Benak Presiden Tentang Kebudayaan (yang berkembang dalam dinamika hidup bangsa Indonesia yang berdaulat dan bermartabat)?
Pada saatnya masalah kebudayaan dan pendidikan dalam pemerintahan diakomodasi oleh Departemen P dan K atau Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Masalah Pariwisata lama dalam pemerintahan di Indonesia selalu dihubungkan dalam departemen yang mengatur pos dan telekomunikasi atau Departemen Pariwisata, Pos dan telekomunikasi (Par-pos-tel). Sejak krisis 1997-1998 (sejak IMF ‘mengendalikan’ Indonesia dengan letter of intent-nya), Abdul Latif menjadi Menteri pertama (16 Maret-21 Mei 1998) departemen baru: Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, yang mulai tahun 2004 berubah menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Kalau dalam Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata ada di bawah Menko Kesra, pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), Yudhoyono sebagai presiden terpilih menempatkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Ada apa di benak Presiden Yudhoyono terkait dengan masalah kebudayaan ini? ***
Nomenklatur Departemen Kebudayaan (dan Pariwisata)
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengubah Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Demikian pula Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, ditambah dengan label Reformasi Birokrasi. Jelas ini menambah cakupan kementerian tersebut serta penekanan tugas utamanya. Nama suatu departemen sangat menentukan karena hal itu mutlak berhubungan dengan tugas pokok dan misinya. Perubahan nama berkaitan pula dengan pergeseran peran suatu departemen.
Ternyata, dalam kabinet yang baru terbentuk, masalah kebudayaan tetap diurus oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Padahal, dalam kongres kebudayaan yang berlangsung di Bogor beberapa waktu yang lalu, diusulkan agar kebudayaan menjadi departemen tersendiri. Usulan serupa telah dikemukakan dalam kongres-kongres kebudayaan sebelumnya. Namun, gagasan tersebut tetap belum diterima oleh Presiden.
Pada era Orde Baru, masalah kebudayaan diurus oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan yang terdapat pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada departemen ini Dirjen Kebudayaan boleh dikatakan minoritas dalam hal personel dan anggaran dibanding dirjen lain pada departemen pendidikan.
Sejak era reformasi, kebudayaan dipindahkan ke Departemen Pariwisata sehingga menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Tidak tanggung-tanggung, kebudayaan diletakkan pada posisi pertama mendahului pariwisata. Dibandingkan dengan kondisi ketika bernaung di bawah departemen pendidikan, maka saat bergabung bersama pariwisata, anggaran dirjen kebudayaan meningkat. Apalagi sektor kebudayaan ini dibagi menjadi dua dirjen, yakni Dirjen Sejarah dan Purbakala (sering dipelesetkan menjadi Dirjen Sepur) serta Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film.
Dirjen Sejarah dan Purbakala membawahkan direktorat yang berhubungan dengan sejarah dan arkeologi. Pada Dirjen Kebudayaan semasa di bawah Departemen Pendidikan, hanya terdapat satu direktorat sejarah. Sedangkan pada Depbudpar ada dua direktorat, yakni Direktorat Nilai Sejarah dan Direktorat Geografi Sejarah. Menurut saya, pembagian keduanya menjadi tidak jelas, lebih baik bila dijadikan Direktorat Sejarah Nasional dan Direktorat Sejarah Lokal. Bila nanti akan ditambah satu lagi, bisa dimasukkan Direktorat Sejarah Maritim.
Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film memiliki beberapa direktorat, yakni Direktorat Tradisi, Direktorat Karakter dan Pekerti Bangsa, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta Direktorat Kesenian dan Direktorat Film. Kesenian dan film lebih mudah didefinisikan, sungguhpun dalam kasus ini sengaja dipisahkan antara film dan kesenian atau, dengan kata lain, kesenian di sini mencakup sesuatu yang tidak termasuk film. Apakah tidak lebih baik bila dibedakan antara “kesenian tradisional” dan “kesenian modern”, misalnya.
Pertanyaannya, apa yang diurus oleh direktorat tradisi? Tradisi lisan yang terdapat di Nusantara ini? Atau tradisi apa? Yang lebih repot lagi kalau suatu departemen bertanggung jawab atas “karakter dan pekerti bangsa”. Siapa yang berwenang menangani “karakter dan pekerti bangsa”? Bukankah lebih tepat jika hal itu menjadi kewajiban Departemen Pendidikan Nasional? Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seyogianya masuk Departemen Agama. Bukankah direktorat ini mengurus agama “asli” orang Indonesia, bukan agama “impor”? Memang persoalannya menjadi pelik ketika dibedakan antara agama dan kepercayaan. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu (dan belakangan Konghucu) dikategorikan sebagai agama, sedangkan agama “asli” Indonesia digolongkan sebagai kepercayaan, meskipun kepercayaan itu terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sesungguhnya penamaan Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film ini perlu dikaji ulang, termasuk direktorat yang di bawahnya. Demikian pula penamaan tiga staf ahli menteri bidang “ekonomi dan iptek”, “pranata sosial”, dan “multikultural”. Sebaiknya nomenklaturnya ditata kembali agar lebih relevan dengan bidang kebudayaan dan pariwisata. Penamaan suatu jabatan yang tidak jelas akan menimbulkan kebingungan dalam mengemban tugas tersebut.
Pada departemen ini juga terdapat Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata. Di sini terkesan bahwa yang hendak dikembangkan adalah bidang kebudayaan dan pariwisata. Namun, badan ini membawahkan di antaranya Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia. Ternyata pusat ini berhubungan dengan SDM atau manusia. Tidak jelas apakah itu pegawai departemen atau manusia yang berhubungan dengan kebijakan departemen ini. Antara Badan dan Pusat yang di bawahnya terdapat perbedaan yang tentu akan menimbulkan kerancuan.
Terkesan selama ini bahwa memajukan pariwisata merupakan tugas prioritas departemen ini. Pariwisata mendatangkan turis asing dan pada gilirannya memasukkan devisa bagi negara kita. Keberhasilan dalam bidang ini bisa diukur antara lain dari jumlah kunjungan wisatawan ke Tanah Air dalam periode tertentu. Namun, bagaimana mengukur keberhasilan dalam bidang kebudayaan? Padahal bidang kebudayaan tidak kalah penting bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Terlepas dari itu, tata nama organisasi ini perlu diatur lebih baik sehingga kebijakan dan programnya bisa efektif. Pernyataan Shakespeare “apalah arti sebuah nama” tentu tidak berlaku di sini.
Asvi Warman Adam, AHLI PENELITI UTAMA LIPI
SUMBER: Koran Tempo, 29 Oktober 2009
Memerintah Tanpa Budaya (Lagi)
Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014 secara mengejutkan tidak lagi menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tetapi kini berada di bawah Menko Perekonomian. Jika strukturisasi kabinet adalah sebuah refleksi dari sistem pemikiran tentang idealitas pemerintahan, dengan kebijakan itu, unsur ”kebudayaan” tampaknya telah dianggap sebagai substruktur yang tak jauh berbeda dengan ”pariwisata”.
Dalam kacamata kuantitatif, konsepsi kebudayaan itu hadir sebagai entitas mikro dalam desain pembangunan nasional. Bacalah, anggaran belanja yang tertuang dalam RAPBN tahun 2010, memberikan alokasi dana kepada kebudayaan sekitar Rp 300 miliar (0,028 persen) dan kesenian sekitar Rp 78 miliar (0,0074 persen). Bisa dikatakan sama dengan tahun sebelumnya.
Jika pembangunan kebudayaan merupakan bagian kecil dalam desain pembangunan nasional, penting kiranya menanyakan kembali orientasi pemerintahan masa kini. Bagaimana rupa pemerintah tanpa budaya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dibangun tanpa fondasi strategis terkait dengan kebudayaan?
Budaya sebagai alas
Penelusuran di dalam rumpun ilmu sosial, khususnya sebuah teori ekonomi, akan didapat istilah corporate culture sebagai titik orientasi kinerja seorang karyawan dalam praksis kerjanya sehari-hari. Demikian pula, teori kepemimpinan memberikan istilah transformational leadership dalam setiap organisasi untuk mewarisi semangat yang dibentuk para pendiri perusahaan.
Teori politik yang dikembangkan Hannah Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1976: 89) memperlihatkan integrasi sosial di dalam sebuah pemerintahan haruslah diikat dengan ”sebuah ketundukan terhadap identitas yang terus diperkuat oleh penguasa”.
Ikatan-ikatan inilah yang menjadikan sebuah negara-bangsa bisa didirikan. Eksplisitasi di dalam anggaran dasar yang disebut dengan undang-undang dan semboyan yang disebut dengan falsafah bangsa adalah orientasi kultural yang didesain sejak awal pembentukan negara. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan falsafah ini sesungguhnya lebih penting dari kebutuhan apa pun di republik ini.
Tinjauan pembangunan kultural dari masa ke masa memperlihatkan adanya upaya yang sangat luar biasa membangun kebudayaan sejak awal. Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-12 memperlihatkan konsepsi kebudayaan melalui dharma sebagai pengabdian kepada Syiwa Buddha. Raja Hayamwuruk sebagai pelindung negeri dan abdi yang menyejahterakan rakyat selalu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk ”menyembah Syiwa Buddha”.
Demikian pula, Kerajaan Islam pada 1478 dalam chandra bumi sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478) meninggalkan kebudayaan intangible bagi generasi-generasi sesudahnya. Istana kerajaan Raden Fatah tidak ditemui, tetapi Masjid Demak membawa ikon tentang kebudayaan Islam masa lampau yang terpelihara hingga kini.
Fotokopi budaya kolonial
Di bagian lain, pemerintahan Hindia Timur Belanda, yang berada di bawah Kementerian Tanah Jajahan, telah membawa kultur baru dalam pembentukan sistem kebudayaan. Sebagaimana garis kebijakan Kementerian Kolonial di The Haque (Den Haag), penerapan kebijakan di tanah jajahan haruslah dilandasi oleh hadirnya kekuasaan ”misterius” yang mampu memaksa para warga koloni untuk tunduk dan patuh.
Sistem cultuurstelsel (tanam paksa), landrente (pajak tanah), sistem onderneming (perkebunan), dan poenali sanctie (hukum buruh) dalam kebijakan perburuhan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu telah memengaruhi pola pikir masyarakat kolonial tentang idealitas-idealitas sebuah kebudayaan. Artinya, kebudayaan haruslah di bawah kendali sistem perekonomian yang memiliki orientasi jelas, yakni orientasi kapitalistik yang menghamba terhadap keuntungan.
Kita berada pada sebuah masa ketika gerakan angka-angka dalam statistik ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan. Dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanyalah masalah kuantifikasi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).
Persoalan-persoalan identitas keindonesiaan, semangat kebersamaan, keadilan sosial, dan pelestarian filsafat bangsa pun tertinggal sebagai bagian dari kurikulum tua yang tidak pernah diperbarui di dalam sistem pendidikan kita.
Lebih dari itu, pembangunan kebudayaan dalam strategi pemerintahan seperti barang apak yang disimpan di gudang tua tak tersentuh. Sampai lima tahun lagi. Setidaknya.
Saifur Rohman Pengamat Seni dan Budaya, Alumnus Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, menetap di Semarang
KOMPAS, Sabtu, 14 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar