Kamis, 11 Februari 2010

De-gotong-royongisasi



De-gotong-royongisasi?

“Rasa harmoni menurut saya merupakan ciri paling khas dari psikologi Asia,” demikian Tho Thi Anh menulis dalam Eastern And Western Cultual Values (1974) yang telah diterjemahkan dengan judul Nilai Budaya Timur dan Barat, Konflik atau Harmoni?[1] Mengutip Denis de Rougemnt, Tho Thi Anh terhadap masyarakat Barat menuliskan: “Masyarakat Barat,” tulis Denis de Rougemnt, “telah menghasilkan antara lain dua kenyataan paling spesifik: persona dan mesin.”[2] Dua puluh empat tahun kemudian (1998), Pierre Bourdieu terkait dengan merebaknya neoliberalisme sebagai paham dominan global menuliskan: “What is neoliberalism? A programme for destroying collective structure which may impede the pure market logic.”[3]

Mengapa tiga pendapat di atas dituliskan secara bersamaan? Karena pada pendapat-pendapat itulah sebenarnya kita dihadapkan pada permasalahan kongkret dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pada ketiga pendapat itulah kita bisa melihat ’wajah janus’[4] dari pelaksanaan rejim neoliberalisme di Indonesia yang sampai saat ini digawangi oleh SBY (Sri Mulyani, Boediono, Yudhoyono).

Terhadap bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan, Yudhoyono sangat paham tentang psikologi Asia ini, atau khususnya psikologi rakyat Indonesia, yang seperti disebut Tho Thi Anh sebagai rasa harmoni. Personifikasi yang dibangun sebagai sosok diri yang tertib, yang tidak mau terlibat konflik atau menjauh dari konflik adalah dimaksudkan nantinya, Yudhoyono dapat menjadi sosok yang ”diidam-idamkan” masyarakat yang memang mempunyai dasar psikologi harmoni itu. Yang khas lagi dalam masyarakat Indonesia kontemporer mungkin bisa ditambahkan dengan yang disebut oleh Sukardi Rinakit sebagai masyarakat melodramatik. Dan sekali lagi, Yudhoyono juga sangat paham tentang hal ini, maka yang mucul adalah gabungan antara sosok yang harmonis dengan yang melodramatik. Kapan ini akan lebih ditonjolkan atau muncul secara bersama-sama, tentu konsultan-konsultan politik di sekitar Presiden selalu akan memberikan masukan-masukannya.

Tetapi bagaimana saat melaksanakan kekuasaan? Pada titik inilah agenda-agenda neoliberalisme, liberalisasi, privatisasi dan deregulasi dilaksanakan SBY sesuai dengan text book-nya. Dan seperti yang disebut oleh Pierre Bourdieu di atas, neoliberalisme adalah sebuah program yang akan menghancurkan struktur kolektif yang menghalangi pelaksanaan logika pasar di semua bidang kehidupan, maka kekuasaan-pun dilaksanakan dengan prinsip-prinsip seperti itu, dan itu dalam praktek mewujud dalam proseduralisme (lihat posting sebelumnya, Proseduralisme dan Strategi-nya Mereka).

Rasa harmoni sebagai yang hidup dalam kultur sehari-hari masyarakat Indonesia perlahan digeser hanya sebagai harmoni dalam dunia prosedur-prosedur, dan ini tidak hanya berhenti dalam menggeser, tapi rasa harmoni di luar prosedur adalah menjadi tidak pada tempatnya. Dalam hidup demokrasi, opini publik digantikan dengan angka dan grafik naik-turun persis seperti grafik naik dan turunnya harga saham di lantai bursa perdagangan saham. Demokrasi hanya berarti prosedur untuk memilih elit yang berkuasa, dan itu adalah poliarki. Celakanya lagi, proses ’demokrasi’ yang terjadi sejak awal sudah dibajak oleh oligarki dan pemburu rente yang sudah bersembunyi aman di tubuh masing-masing partai politik. Demokrasi otentik sebagai kekuatan yang sudah melekat dalam kolektifitas komunitas perlahan digeser dan dimatikan atas nama prosedur demokrasi.

Kita menjadi semakin paham terhadap kebijakan Presiden Yudhoyono yang tetap mempertahankan Kementrian Budaya menjadi satu dengan Pariwisata dan kemudian menggesernya menjadi di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Pembelaan negara atas kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat-pun dibuat dengan sadar untuk di-subordinat-kan pada kepentingan ekonomi, di bawah logika pasar neoliberalisme.

Maka yang terjadi adalah perlahan muncul semacam budaya anomie, di mana nilai-nilai yang sudah lama berakar, yaitu nilai harmoni tetap dipertahankan tetapi hanya sebagai alat pelanggengan kekuasaan sehingga perlahan ini juga akan menjadi tercabut dari akar, di lain pihak paham neoliberalisme yang berkeyakinan bahwa setiap warga negara adalah swasta, setiap warga negara adalah privat yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan untuk itu harus bersaing satu sama lain (sehingga, seperti kata Pierre Bourdieu, struktur kolektif yang menghambat mesti dihancurkan) belum sepenuhnya diterima karena pada dasarnya masyarakat masih terstruktur dengan nilai-nilai harmoni. Bagi pengusung neoliberalisme di Indonesia, proseduralisme dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ini.

Cobalah kita lihat bersama berita Kompas, Jum’at 12 Februari 2010, halaman 24 yang berjudul: ”Bertengkar, Anak SD Diadili.” Seorang bapak yang anaknya bertengkar dengan anak lain, dan anaknya luka di kepala ujungnya adalah ada seorang anak yang harus duduk di kursi pengadilan. Yang kita kawatirkan terhadap berita ini adalah, apakah ini merupakan tanda-tanda proyek SBY dalam menghancurkan struktur kolektif bangsa telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilannya? Atau keberhasilan proyek SBY ini merupakan titik puncak dari apa yang sudah dimulai sejak era Orde Baru yang lalu? Sebagai puncak ataupun merupakan keberhasilan yang berdiri sendiri tetaplah sama akibatnya bagi Rakyat Indonesia, yaitu rakyat kebanyakan semakin jauh dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

RRC sebenarnya adalah contoh kongkret bagaimana nilai harmoni ini dapat dikembangkan menjadi kekuatan sehingga rakyat China mampu bersaing dalam tata ekonomi global. Demikian juga Jepang dalam fase-fase awal industrialisasinya. Mengapa kita tidak menjadikan gotong-royong sebagai alas dalam mengembangkan bangsa Indonesia sehingga mampu bersaing dalam tata dunia global? Jika ini dicari dalam text-book-nya neoliberalisme pastilah kita tidak akan menemukannya, maka carilah dalam kedalaman rakyat Indonesia sendiri! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar