Ni yao caifu ni xian zuo lu: bila ingin makmur bikin jalan dulu, demikian pepatah kuno China berbunyi. China sampai detik ini masih dengan “kecepatan penuh” membangun 25 kilometer jalan baru per hari, sedangkan di Indonesia tidak sampai ada sepersepuluhnya.[i] Apa makna strategis dibalik pepatah itu?
Yang bisa kita pelajari dari pepatah kuno China di atas adalah: keterhubungan! Cobalah kita bayangkan cerita yang sudah akrab dengan kita, yaitu tentang seikat lidi dan ketika mereka diceraikan dari ikatannya. Lidi-lidi itu jika terlepas satu dengan yang lain akan mudah dipatahkan, tetapi jika diikat menjadi satu maka akan sulit dipatahkan, bahkan oleh orang terkuat sekalipun. Yang mengikat sekelompok manusia, katakanlah kita sebagai bangsa Indonesia bisa memang dengan hadirnya sebuah ideologi, atau memori sejarah yang sama, atau yang lainnya yang dapat dimaknai dalam term marxian sebagai bagian dari ‘suprastruktur’ –bangunan atas. Tetapi hidup dari hari ke hari, kongkret hidup bersama tidak hanya membutuhkan hal-hal ‘suprastruktur’ tersebut, tetapi juga bentuk-bentuk ‘infrastruktur’, basis material yang mendukung dan terlibat dalam hidup keseharian. Bahkan menurut Marx, suprastruktur , bangunan atas, itu lebih banyak ditentukan oleh basis material daripada sebaliknya.
Maka jalan, baik jalan raya, kereta api, laut maupun udara adalah masalah keterhubungan, masalah bagaimana membangun sebuah ikatan. Tetapi bukankah keterhubungan itu dapat dibangun dengan biaya yang sangat murah, dengan jaringan internet, misalnya? Dengan satelit Palapa yang memfasilitasi siaran televisi sampai pelosok-pelosok desa? Sekali lagi, ini memang perlu dan sebaiknya juga dikembangkan, tetapi yang harus diingat ialah hubungan antar manusia yang paling genuine, yang paling mampu membangun ikatan yang kuat adalah pertemuan langsung antar manusia itu sendiri, face-to-face.
Selain itu, ekonomi riil jelas membutuhkan sarana perhubungan yang kongkret, baik itu jalan, pelabuhan sampai pada tersedianya energi.
Jika kita melihat sejarah perkembangan manusia, mulai dengan ditemukan roda, kapal laut, kereta api, mobil dan pesawat terbang, kesejahteraan manusia kebanyakan juga seiring dengan bagaimana satu kelompok manusia itu dapat memaksimalkan keuntungan dari fasilitas keterhubungan itu bagi sebanyak-banyaknya anggota. Lihat saja bagaimana perkembangan jaringan rel kereta api di Eropa, Amerika Serikat di abad 19. Juga yang dikembangkan di Jepang, dan sekarang di China. Pada titik inilah timbul suatu pilihan-pilihan ‘ideologis’. Misalnya, akan lebih memfasilitasi keterhubungan kelompok yang sudah mapan dan bermobil pribadi dengan memprioritaskan membangun jalan tol atau memfasilitasi rakyat kebanyakan dengan lebih mengembangkan angkutan massal yang nyaman dan murah?
Pilihan-pilihan bisa menjadi tidak mudah bagi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya, sebab jika ia lebih mementingkan keterhubungan rakyat kecil, bagaimana jika rakyat kemudian menjadi kuat karena bangunan ikatan bersamanya perlahan semakin kuat seiring dengan semakin mudah dan seringnya bertemu?
Maka ni yao caifu ni xian zuo lu: bila ingin makmur bikin jalan dulu, dibalik ini mestinya adalah kemakmuran bagi rakyat kebanyakan, terutama rakyat kecil. Keterhubungan jangan dimaknai dengan paradigma trickle down effect, jika yang atas difasilitasi keterhubungannya dan kemudian menjadi semakin kuat maka kelimpahan akan menetes ke bawah. Sejarah membuktikan bahwa ini hanyalah sebuah ilusi belaka. Buatlah rakyat kebanyakan, sebanyak-banyaknya menikmati keterhubungan yang murah dan nyaman, maka rakyat akan menjadi kuat, dan pergerakan ekonomi yang diletakkan di atas basis ini tentu lebih bisa diharapkan untuk dapat dinikmati oleh banyak orang, tidak hanya mengumpul pada segelintir orang saja. Inilah hal strategis dibalik pepatah kuno China itu yang dapat kita pelajari bersama. Maka menjadi ironi, ketika rakyat kebanyakan mempunyai kesempatan bertemu face-to-face saat liburan, justru tiket kereta api dinaikkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar